Senin, 03 Januari 2011

ROGER FOWLER, ROBERT HODGE, GUNTHER KRESS, DAN TONY TREW

I. Pengantar
Pada makalah ini mengambil pokok pembahasan yang dikemukakan oleh Roger Fowler dkk., mengenai kosakata yang digunakan di dalam bahasa pemberitaan di media cetak, kemudian mengenai tata bahasa yakni efek bentuk kalimat pasif dan efek nominalisasi, serta kerangka analisis yang digunakan di dalam menganalisis teks wacana di media cetak.

II. Ringkasan Materi
A. Kosakata
1. Kosakata: Membuat Klasifikasi
Bahasa pada dasarnya selalu menyediakan klasifikasi. Klasifikasi terjadi karena realitas begitu kompleksnya, sehingga orang kemudian membuat penyerderhanaan dan abstraksi dari realitas tersebut. Realitas tersebut bukan hanya bisa dikenali, pada akhirnya juga berusaha dibedakan dengan yang lain. Untuk itu, klasifikasi menyediakan arena untuk mengontrol informasi dan pengalaman.
Contoh: Tindakan pasukan Interfet ketika berada di Tomor Timur yang memborgol, menodong, dan menggeledah penduduk Timor Timur yang dicurigai sebagai milisi. Tindakan itu dapat dikatakan sebagai “intervensi” (campur tangan pihak asing dalam menangani kerusuhan di Indonesia), dapat juga dikatakan sebagai “menjalankan tugas” (apa yang dilakukan oleh Interfet tersebut sesuai dengan misinya untuk menangani sumber kekacauan di Timor Timur). Kita lihat di sini bagaimana kata-kata tersebut menyediakan klasifikasi bagaimana realitas dipahami. Klasifikasi ini bermakna peristiwa seharusnya dilihat dari sisi yang satu bukan yang lain.
Kosakata yang banyak dipakai dalam pemberitaan media adalah “intervensi” atau “konspirasi internasional”. Dengan memberi kosakata semacam itu untuk menamai perlu tidaknya kehadiran pasukan internasional di Timor Timur, media telah membentuk klasifikasi dengan realitas tertentu. Kosakata ini memberi arahan kepada khalayak bagaimana realitas seharusnya dipahami. Perhatikan tabel di bawah ini,
Klasifikasi (Anti-Interfet) Klasifikasi (Pro-Interfet)
masalah dalam negeri masalah internasional
intervensi, konspirasi internasional bantuan kemanusiaan
Menambah kekerasan menghentikan kekerasan
nasinalisme hak asasi manusia, hukum internasional, nilai kemanusiaan

Analisis: Pertama, pemakaian kata “intervensi” membatasi pikiran kita dengan persepsi khalayak, bahwa Timor Timur adalah masalah internasional, bukan masalah Indonesia saja. Dengan pemakaian kata itu, realitas masalah Timor Timur (dengan sengaja) dibatasi dan didefinisikan semata sebagai masalah nasional Indonesia. Kedua, kata “intervensi” itu juga membatasi khalayak pembaca untuk melihat persoalan di Timor Timur itu semata sebagai persoalan kehadiran pasukan asing di Timor Timur semata sebagai persoalan kehadiran pasukan asing di Timor Timur. Di sana tidak dipersoalkan dan dihilangkan fakta tentang kekerasan dan kerusuhan yang terjadi di Timor Timur. Artinya, kehadiran dan tindakan pasukan Intervet sebetulnya dapat dipahami sebagai tindakan yang perlu dan penting untuk menghentikan kekerasan yang terjadi di Timor Timur. Akan tetapi, kemungkinan ini dibatasi dengan pemakaian kata “intervensi”.
2. Kosakata: Membatasi Pandangan
Menurut Fowler dkk., bahasa pada dasarnya bersifat membatasi, kita diajak berfikir untuk memahami seperti itu, bukan yang lain. Kosakata berpengaruh terhadap bagaimana kita memahami dan memaknai suatu peristiwa. Hal ini dikarenakan, khalayak tidak mengalami atau mengikuti suatu peristiwa secara langsung. Oleh karena itu, ketika membaca suatu kosakata tertentu, akan dihubungkan dengan realitas tertentu.
Contoh : untuk melihat bagaimana kosakata mempengaruhi pandangan kita tersebut, dapat dilihat kasus konkret pemberitaan media atau kasus Tobelo, Galela, dan Jaelolo (Maluku). Kasus ini sendiri bermula pada 26 Desember 1999, meski tidak dapat dilepaskan dari rentetan kasus ini sejak setahun yang lalu. Sehabis berbuka puasa, dan mencapai klimaknya pada saat sahur keesokan harinya, sekitar 20 ribu warga Kristen, warga setempat dan pendatang, menyerang tiga kecamatan : Tobelo, Galela, dan Jaelolo yang dihuni tidak kurang dari 7000 jiwa. Total korban dari peristiwa ini konon mencapai 3000 jiwa.
Kosakata perang Kosakata penghalusan
perang, pembunuhan pembantaian, pembasmian, pertempuran, pembumi hangusan, pembersihan. tragedi, insiden, kasus, masalah
perang antara Islam Kristen, pertempuran laskar Islam Kristen, pembantaian pasukan Kristen terhadap mujahidin Islam kerusuhan berbau SARA, konflik berbau SARA, pertikaian bernuansa SARA, pertikaian antaragama.

Yang menarik di sini adalah bagaimana media memaknai dan menyebut peristiwa Ambon. Pilihan kata-kata yang dipakai menunjukkan sikap media tertentu ketika melihat dan memaknai suatu peristiwa. Peristiwa sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda. Di sini ternyata ada perbedaan yang menarik antara Republika dengan Suara Pembaharuan dan Kompas. Republika banyak menyebut peristiwa ini sebagai pembantaian. Tentu saja yang dimaksud adalah pembantaian terhadap umat Islam. Sebaliknya Kompas dan Suara Pembaruan banyak menyebut peristiwa Ambon ini sebagai konflik, pertikaian, atau bentrok. Pemakaian kata-kata yang berbeda ini, hendaklah kita pahami bukan semata soal istilah semata, karena kata-kata itu menimbulkan arti dan pemaknaan tertentu ketika diterima oleh khalayak.
Kompas dan Suara Pembaruan tampaknya memilih berhati-hati dalam memberitakan kasus Ambon. Bentuk kehati-hatian itu ditunjukkan dengan memberi penyebutan yang netral atas peristiwa Ambon. Dengan menyebut konflik atau pertikaian di sana tidak terdapat penilaian (evaluation) atas pihak yang terlibat dalam konflik. Dengan kata-kata itu disugestikan bahwa tidak ada yang salah atau benar dalam kasus tersebut, tetapi suatu peristiwa yang rumit dan komplek. Kata seperti pembunuhan atau pembantaian membutuhkan pelaku yakni siapa yang melakukan pembantaian. Kata seperti itu juga membutuhkan korban, siapa yang menjadi korban pembantaian atau pembunuhan. Sebaliknya, kata konflik atau pertikaian di sana tidak ada posisi pelaku dan korban, tidak ada posisi salah benar, karena yang terjadi adalah gambaran tentang peristiwa yang tidak dapat dirunut siapa yang atau benar. Dengan memakai kata-kata tersebut, Kompas dan Suara Pembaharuan ingin terlihat aman dengan tidak memberi penilaian aata pihak-pihak yang bertikai.
3. Kosakata: Pertarungan Wacana
Kosakata haruslah dipahami dalam konteks pertarungan wacana. Dalam sebuah pemberitaan setiap pihak mempunyai versi atau pendapat sendiri-sendiri atas suatu masalah. Mereka mempunyai klaim kebenaran, dasar pembenar dan penjelas mengenai suatu masalah. Mereka bukan hanya mempunyai versi yang berbeda, tetapi juga berusaha agar versinya yang dianggap paling benar dan lebih menentukan dalam mempengaruhi opini publik. Dalam upaya memenangkan penerimaaan publik tersebut, masing-masing pihak menggunakan kosakata sendiri dan berusaha memaksakan agar kosakata itulah yang diterima oleh publik.
Contohnya dalam kasus Aceh bagaimana pertarungan wacana terjadi dalam kosakata. Dalam kasus Aceh ini dipandang ada dua pihak, TNI dan GAM yang masing-masing pihak tersebut mempunyai gambaran yang berbeda mengenai kasus ini baik dari terjadinyan konflik, penyebab, situasi, dan proses konflik korban maupun pelaku. Perbedaan pendapat tersebut dapat digambarkan di bawah ini:
PERISTIWA VERSI MILITER VERSI GAM
Kreung Geukuh Militer terpaksa melakukan penembakkan karena massa yang telah diprovokasi GAM hendak menyerang Detasemen Rudal 001. akibat bentrok antara massa dan militer, 31 orang tewas Tidak ada kontakn senjata dalam peristiwa tersebut. Militer secara membabi buta melakukan penembakkan kepada massa. Akibatnya, sebanyak 31 masyarakat tewas.

Dari gambaran di atas dapat disimpulkan antara kelompok militer dan GAM memiliki pertarungan wacana untuk memenangkan penerimaan publik. Dari sekian ratus berita terbukti pihak militerlah yang lebih dominan dalam pemberitaan. Dominannya ini pihak militer lebih disebabkan karena seringnya pihak militer diwawancarai, seringkali keterangan pers dikutip dibandingkan dengan versi yang diberikan pihak di luar militer.
4. Kosakata: Marjinalisasi
Argumen dasar dari Roger Fowler dkk, adalah pilihan linguistik tertentu– kata, kalimat, proposisi-membawa nilai ideologis tertentu. Kata dipandang bukan sebagai sesuatu yang netral, tetapi membawa implikasi ideologis tertentu. Di sini, pemakaian kata, kalimat, susunan, dan bentuk kalimat tertentu, proposisi tidak dipandang semata sebagai persoalan teknis tata bahasa atau linguistik, tetapi ekspresi dari ideologi: upaya untuk membentuk pendapat umum, meneguhkan, dan membenarkan pihak sendiri dan mengucilkan pihak lain. Pemakaian bahasa dipandang tidak netral karena membawa implikasi ideologis tertentu.
Pada level pilihan kata dipertanyakan bagaimana peristiwa dan aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut dibahasakan. Penamaan itu berhubungan dengan tiga aspek: aktor-aktor yang terlibat maupun peristiwanya. Pilihan kosakota yang dipakai ini, tidak dipahami semata-mata sebagai sekedar aspek teknis atau berurusan dengan persoalan tata ejaan, tetapi ada aspek ideologis di dalamnya. Bagaimana kata-kata tertentu aktor-aktor dibahasakan dan bagaimana peristiwa digambarkan yang berpengaruh terhadap pemaknaan ketika diterima oleh khalayak. Misalnya, mengenai pemerkosaan. Peristiwa pemerkosaan dapat dibahasakan dengan pilihan kosakata yang beraneka, baik dari korban (wanita), pelaku (laki-laki) maupun dari peristiwa pemerkosaan (event) itu sendiri.
B. Tata Bahasa
Roger Fawler dkk., memandang bahasa sebagai suatu set kategori dan proses. Kategori yang penting disebut sebagai model yang mengambarkan hubungan antara objek dengan peristiwa. Secara umum ada tiga model yang diperkenalkkan oleh Roger Fawler dkk. Pertama, model transitif. Model ini berhubungan dengan proses, yakni melihat bagian mana yang dianggap sebagai penyebab suatu tindakan, dan bagian lain sebagai akibat dari suatu tindakan. Model kedua, intransitive. Dalam model ini seorang aktor dihubungkan sengan suatu proses, tapi tanpa menjelaskan atau menggambarkan suatu akibat atau objek yang dikenai. Ketiga, model relasional. Model relasional menggambarkan hubungan di antara dua entitas atau bagian tresebut. Hubungan ini bisa berupa ekuatif yakni hubungan antara sama-sama kata benda. Ketiga model tersebut Oleh Roger Fawler dkk., disebut sebagai modal sintagmatik.
1. Efek Bentuk Kalimat Pasif: Penghilangan Pelaku
Dalam kalimat aktif, yang ditekankan adalah subjek pelaku dari suatu kegiatan, sedangkan dalam kalimat pasif yang ditekankan adalah sasaran dari suatu pelaku atau tindakan. Misalnya dalam peristiwa demonstrasi di dapan gedung DPR/MPR, polisi menembak lima orang siswa. Peristiwa tersebut bisa dibahasakan dalam susunan kalimat aktif berikut:
Polisi menembak 4 orang mahasiswa dalam demonstrasi di depan gedung DPR kemarin
Subjek(pelaku) Predikat Objek (sasaran) Keterangan

Kalimat di atas akan berbeda kalau tersebut diubah dalam bentuk pasif. Perhatikan kalimat di bawah ini:
Dalam demonstrasi di depan gedung DPR kemarin 4 orang mahasiswa ditembak (oleh) polisi
Keterangan Subjek (sasaran) Predikat Keterangan

Analisis: pertama, dalam susunan kalimat aktif, polisi diletakkan sebagai subjek pelaku. Artinya, kesalahan polisi dalam menangani demontrasi tersebut dilekatkan untuk ditonjolkan pertama kali dalam pemberitaan. Hal ini agak berbeda ketika kalimatnya diubah dalam bentuk pasif di mana polisi lebih netral, karena yang ditonjolkan bukan subjek pelaku tetapi korban, dalam hal ini mahasiswa. Kedua, bentuk kalimat bukan hanya membuat halus atau netral posisi pelaku, bahkan dapat dihilangkan dalam struktur kalimat.


2. Efek Nominalisasi: Penghilangan Pelaku
Penghilangan pelaku tindakan, selain lewat bentuk kalimat pasif, dapat juga dilakukan lewat nominalisasi (membuat verba menjadi nomina). Nominalisasi bisa menghilangkan subjek, karena dalam bentuk nomina bukan kegiatan atau tindakan yang ditekankan tetapi suatu peristiwa. Dalam kalimat yang menunjukkan kegiatan, membutuhkan subjek (siapa yang melakukan kegiatan), tidak demikian hal nya dengan peistawa. Peristiwa pada hakikatnya tidak membutuhkan subjek.
C. Kerangka Analisis
Bahasa yang dipakai oleh media bukanlah sesuatu yang netral, tetapi mempunyai aspek atau ideologi tertentu. Permasalahan analisis wacana model Roger Fowler adalah bagaimana realitas itu dibahasakan, maksudnya bagaimana pemakaian bahasa dalam menulis teks berita. Menurutnya ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kerangka analisis wacana, yaitu:
1. Level kata, yaitu bagaimana hubungan kata-kata dengan makna yang ingin dikomunikasikan, baik dari pihak atau kelompok yang diuntungkan maupun dari pihak yang dirugikan dengan posisi yang ditermarjinalkan.
Contoh: Pilihan kosakata yang digunakan untuk menggambarkan peristiwa atau berita kekerasan,misalnya: perkosaan, pelecehan, persetubuhan, pembunuhan. Wanita yang jadi korban bisa dengan kata gadis, perempuan.
2. Level susunan kata atau kalimat, yaitu bagaimana kata-kata disusun dalam bentuk kalimat sehingga dapat dimengerti dan dipahami. Penekanan di sini bagaimana pola pengaturan, penggabungan, dan penyusunan kata sehingga membuat posisi satu pihak diuntungkan dari pihak lain.
Contoh: Daisy Mustiko, gadis manis dan pendiam. Gadis cantik itu diperkosa dan dibunuh.
Kalimat di atas berbentuk kalimat pasif. Dalam kalimat pasif ini penekanan ditujukan pada diri korban yang menyedihkan, sedangkan pelaku kekerasan disembunyikan. Akibatnya perhatian pembaca terarah kepada gadis bukan kepada pelaku.
Kalimat pasif bukan saja terdapat pada judul berita tetapi terdapat juga pada isi berita.
Contoh: “Selasa (9/5) sekitar pukul 21.00 wib, karyawati PT Petrosea, perusahaan yang bergerak dalam bidang perminyakan ini ditemukan tewas mengenaskan di kamar kosnya. Bagian kepalanya luka akibat benturan ke tembok dan lehernya biru bekas cekikan. Sementara pada bagian wajah ada luka sayatan. Bahkan diduga sebelum dibunuh, gadis cantik berusia 24 tahun ini terlebih dahulu diperkosa.”
Kutipan berita di atas ditulis dengan kalimat pasif. Dalam kalimat pasif tidak dibutuhkan subjek, karena tanpa subjek kalimat itu bisa dipahami. Penekanan dalam kalimat pasif di atas adalah pada diri korban, yaitu bagaimana keadaan korban, sehingga pelaku kekerasan agak diabaikan.

III. Kesimpulan
Roger Fowler dkk., membagi kosaka di dalam pemberitaan media yakni kosakata: membuat klasifikasi, kosakata: membatasi pandangan, kosakata: pertarungan wacana, dan kosakata: marjinalisasi. Selanjutnya, Roger Fawler dkk., memandang bahasa sebagai suatu set kategori dan proses. Kategori yang penting disebut sebagai model yang mengambarkan hubungan antara objek dengan peristiwa. Secara umum ada tiga model yang diperkenalkkan oleh Roger Fawler dkk., yakni transitif, intrasitif, dan relasional yang disebut dengan model sintagmatik. Selanjutnya, menurut Roger fowler dkk., ada dua hal yang harus diperhatikan dalam kerangka analisis wacana, yakni level kata dan level susunan kata atau kalimat.

Daftar Pustaka
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKS Yogyakarta

1 komentar: