Tidak Mampu Melunasi Biaya Pendidikan Siswa Memilih Bunuh Diri

Tidak Mampu Melunasi Biaya Pendidikan
Siswa Memilih Bunuh Diri

I. Pendahuluan
Dunia pendidikan tidak mengenal istilah kaya dan miskin. Ungkapan tersebut tidak lagi sesuai dengan kenyataan yang dirasakan dan dialami oleh pihak-pihak yang berada di lingkungan pendidikan, terutama bagi peserta didik. Mengapa demikian? Jika dilihat kembali kasus bunuh diri yang menimpa siswa di beberapa daerah, sebagaian besar disebabkan tidak mampu melunasi biaya sekolah. Ketua Dewan Penasihat Center for the Batterment of Education (CBE), Darmaningtyas mengungkapkan hasil penelitiannya yang dihimpun dari pemberitaan media massa cetak mengatakan, sebagian besar kasus bunuh diri karena persoalan ekonomi. Jadi, tidak salah dikatakan sekolah hanya diperuntukkan bagi orang kaya bukan lagi orang miskin.
Pendidikan berhak diperoleh oleh siapa saja, tanpa mengenal istilah miskin atau kaya. Sekolah sebagai satu diantara beberapa lembaga pendidikan, seharusnya menjadi tempat kedua setelah lingkungan keluarga dalam proses pengenalan dan pengembangan jati dirinya terutama di lingkungan pergaulan. Bukannya sebagai jurang pemisah antara siswa yang kaya dan siswa yang miskin. Siswa kaya diberikan perhatian lebih, karena berada pada posisi aman. Sedangkan siswa miskin, sering menjadi korban jika berkaitan dengan biaya sekolah. Baik di dalam melunasi biaya SPP, pembelian buku paket, dan LKS serta iuran-iuran lainnya. Semua iuran tersebut oleh pihak sekolah mengatasnamakan untuk pengembangan mutu pendidikan, sarana dan prasarana, serta anak didik. Apabila tidak sanggup membayar iuran-iuran tersebut, lebih baik tidak usah sekolah. Jadi, saat ini memperoleh pendidikan tidak hanya dilihat dari segi kebutuhan seseorang tetapi dilihat dari segi latar belakang ekonomi seseorang.
Siswa dari keluarga miskin mendapat perlakuan berbeda dibandingkan siswa dari keluarga kaya. Sebab siswa kaya lebih tepat waktu membayar iuran sekolah daripada siswa miskin yang selalu menuggak pembayaran dalam jangka waktu yang lama. Padahal setiap tahun ajaran baru atau semester baru pihak sekolah, terutama wakil kesiswaan dan guru BK (Bimbingan Konseling) mendata siswa yang berasal dari keluarga tidak mampu yang nanti diberikan beasiswa atau bantuan biaya sebagai program dari pemerintah. Secara tidak langsung dengan data tersebut, pihak sekolah mengetahui siapa saja siswa yang tidak mampu. Akan tetapi, masih ada sekolah yang mengetahui ketidakmampuan siswa di dalam membayar uang sekolah, tetap memojokkan siswa tersebut bahkan memberikan sanksi tidak boleh masuk kelas mengikuti pelajaran jika belum melunasi pembayaran. Akibatnya, siswa malu dengan teman-temannya dan pada akhirnya mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya. Jadi, data siswa miskin yang dimiliki sekolah tersebut tidak membantu siswa miskin sama sekali.
Pihak sekolah tidak bisa sepenuhnya kita salahkan, bagaimana dengan lingkungan masyarakat sendiri? Mereka yang lebih banyak tahu bagaimana dengan keadaan lingkungan sekitar, karena mereka berinteraksi secara langsung dengan orang-orang yang dikategorikan miskin tetapi mereka memilih untuk tidak peduli. Sedangkan pihak sekolah hanya melaksanakan peraturan sekolah yang ada, karena di dalam memperoleh pendidikan dibutuhkan sarana dan prasarana pendukung yang tidak bias diperoleh secara gratis tetapi juga membutuhkan biaya. Hanya saja tidak bias melaksanakan program bantuan bagi siswa tidak mampu dengan baik dan benar, sehingga terjadilah peristiwa bunuh diri akibat tidak mampu membayar biaya pendidikan.
Akibat peristiwa-peristiwa bunuh diri yang dilakukan oleh siswa, karena malu akan ketidakmampuan di dalam membayar SPP atau iuran lain. Masyarakat mulai memiliki penilaian nagatif terhadap dunia pendidikan, sehingga image pemerintah dalam menetapkan kebijakan pendidikan dan perekonomian yang dirasa tidak pernah memihak rakyat miskin, terbukti benar.

II. Siswa Miskin dan Lingkungan Sekolah
Masa-masa pelajar adalah masa seorang anak sedang berada pada proses peralihan menuju masa dewasa. Hasrat untuk mengetahui dan menginginkan sesuatu, marah, dan memberontak, serta keinginan untuk membuktikan diri cukup besar. Stress atau depresi di usia mereka sudah tidak asing lagi, bahkan bisa dikatakan sudah menjadi agenda sehari-hari. Hanya karena masalah sepele, seorang anak bisa melakukan tindakan yang tidak masuk akal, misalnya bunuh diri. Kemudian yang lebih mengejutkan lagi, alasan mengapa mereka melakukan aksi bunuh diri adalah karena tidak bisa melunasi uang sekolah yang hampir setiap hari ditagih oleh pihak sekolah. Apakah tugas dari sekolah sebagai satu dari lembaga pendidikan yang ada, hanya untuk menagih uang sekolah yang belum dilunasi oleh siswanya? Mungkin pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab oleh pihak sekolah yang bersangkutan.
Tidak hanya masalah tunggakan pembayaran uang sekolah, kekerasan di sekolah juga sering dialami siswa. Baik kekerasan yang dilakukan oleh guru maupun dari siswa lain yang merasa memiliki kuasa daripada siswa lain, terutama siswa yang memiliki latar belakang ekonomi lemah. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat, kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh pendidik atau guru justru yang tertinggi presentasenya (http://www.republika.co.id/berita/9793.html). Berdasarkan penelitian yang dilakukan KPAI selama enam bulan pada tahun 2008, sudah tercatat 86 kekerasan terhadap anak, dengan presentase 39% dilakukan oleh orang terdekat yaitu guru. Hal ini sungguh sangat mengejutkan mengingat tugas seorang guru tidak hanya membelajarkan siswa, tetapi juga mendidik dan mengayomi sebagai orang tua kedua bagi siswa sekolah.
Perlakuan tidak mendidik tersebut dilakukan oleh guru atau pihak sekolah hanya pada siswa yang memiliki latar belakang ekonomi lemah, kecerdasan di bawah rata-rata, dan mental yang lemah alias penakut. Memberi perhatian dan perlakuan yang berbeda antara siswa miskin dengan siswa kaya atau siswa yang cerdas dengan siswa yang tidak cerdas. Siswa miskin hanya akan beruntung jika mereka cerdas dari siswa lain. Tetapi, bagaimana dengan siswa miskin yang tidak cerdas dan memiliki rasa takut pada dirinya? Akankah mereka memperoleh hak yang sama?
Hingga saat ini, permasalahan yang memberatkan siswa miskin adalah besarnya biaya pendidikan yang tidak sesuai dengan latar belakang ekonomi mereka. Tidak hanya bermasalah ketika membayar SPP, tapi juga dengan pembayaran lainnya seperti buku paket yang diwajibkan oleh guru setiap mata pelajaran, LKS, dan iuran lainnya di kelas. Padahal, pihak sekolah terutama guru dilarang memperjualbelikan buku dalam bentuk apapun dan dari penerbit manapun pada siswa selain memanfaatkan buku yang telah disediakan oleh Dinas Pendidikan yaitu buku paket. Akibatnya, siswa tidak hanya menghadapi tagihan SPP yang semakin besar tunggakannya tetapi juga tagihan-tagihan lain yang harus dilunasi secepatnya. Jika tidak dilunasi tepat waktu atau ditunda pembayarannya, siswa dilarang mengikuti pelajaran di kelas atau yang lebih gawat nya lagi dipertontonkan di hadapan teman-teman sekelas sebagai contoh siswa yang tidak disiplin hingga akhirnya disuruh pulang meminta uang pada orang tua yang sudah pasti tidak akan membawa hasil apa-apa.
Pihak sekolah bukannya tidak mengetahui kondisi dari siswa mereka. Sebab setiap tahun ajaran baru atau semester baru, pihak sekolah terutama guru BK (Bimbingan Konseling), wakil kesiswaan, dan Komite Sekolah mendata seluruh siswa yang berlatarbelakang ekonomi lemah untuk diberikan bantuan atau beasiswa. Sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah mengenai penyaluran dan pemakaian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan pada seluruh sekolah di setiap provinsi. Tetapi, bukannya menggunakan dana bantuan tersebut bagi kebutuhan dan kepentingan siswa, pihak sekolah malah menggunakan dana tersebut untuk hal-hal lain dengan mengatasnamakan untuk meningkatkan mutu pendidikan, sekolah dan anak didik. Sehingga, siswa yang membutuhkan bantuan biaya pendidikan dilupakan begitu saja, bahkan guru BK yang seharusnya membantu siswa yang menghadapi masalah, memiliki pofesi baru sebagai rentenir sekolah. Menagih pembayaran uang sekolah pada siswa di setiap kelas, memaksa mereka untuk membayar secepatnya tanpa mendengar terlebih dahulu alasan mengapa tidak bisa membayar. Apabila tidak puas hanya dengan memarahi siswanya, guru BK tidak segan-segan memberikan hukuman fisik berupa cubitan dan pukulan pada siswanya. Lalu, bagaimana dengan data siswa miskin yang telah mereka kumpulkan setiap tahunnya. Jadi, bisa dikatakan data siswa miskin yang dikumpulkan oleh pihak sekolah hanyalah sebagai formalitas saja.
Akibat rasa takut menerima hukuman karena belum melunasi biaya sekolah dan malu dengan teman-teman di sekolah, ditambah lagi pihak yang seharusnya membantu sebaliknya malah memojokkan. Membuat siswa mengalami tekanan bathin yang berat, hingga menimbulkan depresi pada diri mereka. Perasaan putus asa yang berlarut-larut tanpa ada bantuan yang seharusnya mereka dapatkan, membuat akal dan pikiran tidak bisa lagi berpikir secara rasional. Pada akhirnya, satu-satunya jalan yang dianggap dapat menghilangkan tekanan bathin mereka adalah bunuh diri. Seperti yang dialami oleh Tri Wardani (18 tahun), siswa kelas 3 SMA Negeri 12 Padang, berusaha mengakhiri hidupnya dengan meneguk 10 pil sakit kepala. Beruntung usaha nekat Tri berhasil digagalkan oleh keluarganya dan langsung membawa Tri ke RSUD kota Padang ( http://www.diknaspadang.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12&artid=508).
Alasan Tri melakukan perbuatan nekat tersebut karena putus asa tidak mempunyai biaya untuk melunasi tunggakan di sekolah. Pada saat pengambilan rapor kenaikan kelas karena masih memiliki tunggakan SPP yang belum dilunasi, Tri tidak bisa mengambil rapornya. Padahal, Tri termasuk siswi dengan prestasi yang memuaskan di sekolahnya.
Mencuatnya kasus-kasus bunuh diri di kalangan pelajar tentu sangat memprihatinkan. Sekolah ternyata telah menjadi “hantu” bagi anak-anak miskin. Sekolah begitu menakutkan bagaikan penjara, disiksa dan diperlakukan dengan tidak adil. Padahal, seharusnya di sekolah lah anak bisa mendapatkan rasa aman dalam artian fisik maupun mental. Belum lagi anak-anak dibebankan kurikulum yang berat dan cara mengajar guru yang menekan atau terkadang merendahkan.

III. Siswa Miskin dan Lingkungan Sosial
Tidak adil jika hanya menyalahkan pihak sekolah yang dianggap memberi tekanan berat pada siswa, hingga menyebabkan munculnya kasus-kasus bunuh diri di kalangan pelajar. Bagaimana dengan lingkungan masyarakat sendiri, sebagai tempat siswa berinteraksi lebih banyak dibandingkan di sekolah yang dibatasi oleh waktu. Justru ada kemungkinan besar, lingkungan masyarakat turut andil dalam hal ini. Jadi, kita tidak bisa hanya melihat atau menganalisis dari satu sudut pandang saja.
Yang menyadari dan mengetahui lebih awal bagaimana kondisi seorang individu, adalah dari pihak keluarga dan lingkungan masyarakat di mana individu tersebut tinggal. Bahkan setiap provinsi dan daerah-daerah yang berada di dalam wilayah provinsi tersebut harus mendata warga mereka yang berlatarbelakang ekonomi lemah untuk mendapatkan dana dari program yang ditetapkan oleh pemerintah. Dalam hal ini, warga yang terdaftar haruslah benar-benar yang membutuhkan dana tersebut. Mengapa demikian? Karena selama ini, dana yang hanya diperuntukkan bagi mereka keluarga miskin tetapi juga didapatkan oleh mereka yang masih tergolong mampu. Bahkan, ada keluarga miskin yang tidak mendapatkan sama sekali bantuan dana tersebut atau dengan kata lain tidak terdaftar. Padahal, sudah merupakan tugas dan kewajiban setiap kepala daerah dan instansi-instansi di daerah tersebut untuk mendaftarkan keluarga miskin untuk mendapatkan bantuan, bukan hanya sekedar mengetahui saja.
Di Surabaya misalnya, siswa miskin yang memiliki Kartu Identitas Keluarga Miskin (KIKM) atau Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) hanya berjumlah sekitar 27.161 orang. Padahal, bantuan dari pemerintah pusat adalah untuk 37.751 siswa. Dengan demikian, jatah bantuan siswa miskin di kota Surabaya masih tersisa sekitar 10.751 siswa. Dapat disimpulkan, data keluarga miskin yang dikumpulkan oleh pemerintah daerah Surabaya belum valid. DPRD Surabaya beralasan, kriteria KIKM yang ada saat ini tidak bisa dijadikan acuan di kota Surabaya. Pasalnya, jika kriteria tersebut diterapkan di Surabaya, tidak ada siswa miskin. Akan tetapi, kenyataannya ada sekitar 60% siswa SMK di Surabaya tergolong keluarga miskin (www.google.com+siswamiskin+bunuhdiri).
Kepedulian masyarakat pun juga patut dipertanyakan. Tidak hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah saja, tetapi turut membantu dengan meringankan beban keluarga miskin yang ada di lingkungan mereka. Akan tetapi, kesadaran dan kepedulian masyarakat sangat kurang terhadap permasalahan ini. Mereka lebih baik mengeluarkan uang Rp 5.00 pada pengemis yang ada di setiap sudut jalan daripada mengeluarkan uang banyak untuk membiayai anak dari keluarga miskin, misalnya anak tetangga atau anak dari pembantu mereka. Seakan-akan takut apa yang telah mereka peroleh sekarang, bisa habis dalam sekejab. Padahal, jika tidak ingin membantu secara langsung, bisa melalui lembaga-lembaga sosial misalnya GN-OTA.
Ketua Pengurus cabang GN-OTA Kabupaten Purbalingga Hj. Sudarli Heru Sudjatmoko mengemukakan, rendahnya santunan GN-OTA disebabkan karena keterbatasan anggaran yang bersumber dari APBD Kabupaten dan rendahnya kepedulian masyarakat dalam mengikuti program GN-OTA. Dalam hal ini, faktor kemampuan dan kepedulian masyarakat terhadap kegiatan GN-OTA sangat berpengaruh besar. Sedangkan program BOS kurang begitu dipahami oleh masyarakat, sehingga banyak terjadi penyelewengan dana untuk hal-hal lain bukan untuk kepentingan yang membutuhkan.

IV. Siswa Miskin dan Kebijakan Pemerintah
Wakil Koordinator Education Forum, Yanti Sriyulianti mengungkapkan, hak atas pendidikan merupakan amanat konstitusi dan pemerintah telah mencanangkan wajib belajar sembilan tahun. Dengan demikian, sudah merupakan kewajiban pemerintah menghilangkan segala hambatan anak untuk sekolah.
Akan tetapi, saat ini kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tidak semuanya dilaksanakan dengan semestinya oleh lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terutama di sekolah. Masih ada pihak-pihak yang melakukan penyelewengan terhadap dana bantuan bagi siswa tidak mampu dan menggunakannya dengan mengatasnamakan untuk kepentingan sekolah. Bahkan Komite Sekolah yang bertugas mengawasi jalannya proses pendidikan di sekolah bersikap acuh tak acuh. Padahal, di dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mendefinisikan Komite Sekolah adalah lembaga mandiri orang tua/wali siswa yang peduli pendidikan. Dalam pasalnya, juga dicantumkan peran Komite Sekolah untuk ikut mengembangkan kurikulum, meningkatkan mutu pelayanan pendidikan, dan mengawasi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik.
Tetapi yang sangat disayangkan, ketika terjadi kasus penyelewengan dana bantuan bagi siswa miskin. Pemerintah tidak secepatnya menyelidiki dan menyelesaikan masalah tersebut atau lebih tepatnya tidak peduli, karena menganggap hal tersebut tidak begitu mendesak.
Wajar jika ada sebagian orang berpendapat bahka kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah saat ini, tidak pernah memihak rakyat miskin. Melihat kasus-kasus bunuh diri yang terjadi di kalangan pelajar, merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk kembali mengkaji kebijakan yang telah ditetapkan dalam bidang pendidikan.
Sebenarnya pemerintah telah meningkatkan beasiswa bagi siswa miskin agar dapat meningkatkan angka partisipasi kasar di jenjang sekolah, terutama jenjang sekolah pertama sederajat dan menuntaskan program wajib belajar. Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Pertama Departemen Pendidikan Nasional Didik Suhardi mengatakan, pada tahun 2009 beasiswa miskin diusulkan naik 11% cakupannya sehingga menjadi 16% bagi 998.000 siswa. Besarnya beasiswa tetap Rp 48.000 per anak per bulan dan biaya personal, seperti seragam dan buku tulis. Selama ini, sekalipun sejumlah sekolah sudah menggratiskan iuran sekolah, kebutuhan pribadi tetap masih menjadi masalah bagi siswa miskin.
Untuk penetapan siapa yang berhak memperoleh bantuan tersebut dibatasi dengan pengertian atau definisi kemiskinan. Hal ini dikarenakan, antara warga miskin dan yang sedikit di atas garis kemiskinan yang merasa memerlukan pula beasiswa pengertiannya tidak berbeda jauh.
Dengan demikian, walaupun pemerintah telah menetapkan kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan yang bertujuan meringankan beban bagi siswa tidak mampu. Hal ini masih memerlukan bantuan dari lembaga-lembaga pendidikan terkait, terutama sekolah di dalam pelaksanaannya.

V. Penutup
Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa (1) sekolah, sebagai satu di antara lembaga pendidikan harus melaksanakan tugas dan peranannya di dalam membelajarkan, mendidik, dan mengayomi siswanya tanpa memandang latar belakang siswa tersebut, (2) masyarakat, sebagai pihak yang secara langsung lebih banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya agar lebih menigkatkan kesadaran dan kepedulian sosial bermasyarakat, terutama membantu anak-anak dari keluarga tidak mampu yang putus sekolah dengan ikut serta dalam LSM misalnya GN-OTA, dan (3) pemerintah, menindak tegas bagi pihak-pihak yang melakukan penyelewengan terhadap dana bantuan pendidikan bagi siswa tidak mampu.
READ MORE - Tidak Mampu Melunasi Biaya Pendidikan Siswa Memilih Bunuh Diri