Selasa, 14 Desember 2010

ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Antropologi pendidikan adalah cabang spesialisasi yang termuda di dalam antropologi. Antropologi sebagai kajian manusia dan cara-cara hidup mereka, yang muncul pada saat lahirnya gagasan oleh semangat etnografi, arkeologi, geologi dan terutama di dorong oleh semangat Darwinisme. Dengan didorong oleh konsep evolusi organisme, mulailah berkembang antropologi dengan pandangan bahwa pada dasarnya semua kebudayaan manusia berkembang melalui tahap-tahap yang menjurus ke arah kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Eropa dan Amerika.
Menurut ahli Antropolog Amerika, L.H.Morgan, ada tiga tahap perkembangan kebudayaan manusia, yaitu savagery, barbarisme dan civilization yang melukiskan proses evolusi manusia dan masyarakat dari semua manusia dan masyarakat di dunia. Sedangkan di daerah Eropa, ada aliran Diffusionisme (kulturkreis) yang mengemukakan bahwa berbagai kebudayaan umat manusia bukan muncul sebagai hasil pertumbuhan paralel yang independent, tapi merupakan difusi dan invensi dari beberapa pusat kebudayaan. Emile Durkheim, Bronislaw Malinowski (Eropa) dan Franz Boas (Amerika) memprakarsai lahirnya antropologi empiris dengan mengembangkan beberapa aliran tertentu. Franz Boas yang mempengaruhi beberapa antropolog Amerika dengan konsep kebudayaan sebagai satu totalitas (totalitas es wholes) yang memperhatikan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan berbeda, sedangkan pengikutnya mengarahkan perhatian pada pola-pola dasar atau konfigurasi-konfigurasi dari bagian yang membuat bagian masing-masing kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan. Sejak saat itu kajian mengenai kebudayaan dan kepribadian menjadi inovasi utama, yaitu tentang proses bagaimana sebuah kebudayaan diinternalisasikan dan dirubah oleh individu yang memungkinkan kebudayaan muncul dan berfungsi. Namun, pada pembahasan ini lebih menitikberatkan perhatian hubungan pendidikan dengan antropologi budaya.

B. Ringkasan Materi
a. Antropologi dan Pendidikan
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi memiliki dua cabang atau kajian utama. Pertama, antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Kedua, antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah.
Secara umum antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa; arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang telah punah; kemudian etnologi yang mengkaji kebudayaan yang masih ada dan dapat diamati secara langsung. Meskipun antropologi merupakan cabang ilmu yang termuda di antara ilmu-ilmu sosial, antropologi telah melampaui ilmu-ilmu sosial lainnya dalam retangan subjek matter dan metodologi. Antropolog menghubungkan semua aspek terhadap kebudayaan sebagai satu keseluruhan yang mengkaji semua kebudayaan baik lampau maupun sekarang, sederhana ataupun maju. Antropolog menyadarkan kita akan keragaman kebudayaan umat manusia dan pengaruh yang dalam dari pendidikan (cultural conditional) terhadap perilaku dan kepribadian manusia.
Dalam arti luas, pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetis, yang mendorong membentuk pikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari cara berpikir dan cara bertindak yang baru di dalam setiap perubahan besar di dalam hidup kita. Selanjutnya dalam arti sempit, pendidikan adalah penanaman pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada masing-masing generasi dengan menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut. Istilah pendidikan juga berarti disiplin ilmu (termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi pendidikan).
Maka, dapat disimpulkan pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, di mana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda di dalam lingkungan sosial budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktik pendidikan di dalam prespektif budaya, tapi juga mengenai asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktik-praktik pendidikan
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Di mana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang di dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktik pendidikan di dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
b. Makna Kebudayaan
Makna kebudayaan, secara sederhana berarti semua cara hidup (ways of life) yang telah dikembangkan oleh anggota masyarakat. Dari prespektif lain kita bisa memandang suatu kebudayaan sebagai perilaku yang dipelajari dan dialami bersama (pikiran, tindakan, perasaan) dari suatu masyarakat tertentu termasuk artefak-artefaknya, dipelajari dalam arti bahwa perilaku tersebut disampaikan (transmitted) secara sosial, bukan diwariskan secara genetis dan dialami bersama dalam arti dipraktikkan baik oleh seluruh anggota masyarakat atau beberapa kelompok di dalam suatu masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu penduduk lokal yang bekerja sama dalam jangka waktu yang lama untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan kebudayaan merupakan cara hidup dari masyarakat tersebut atau hal-hal yang mereka pikirkan, rasakan dan kerjakan. Masyarakat mungkin saja memiliki satu kebudayaan jika masyarakat tersebut kecil, terpisah dan stabil.
c. Isi Kebudayaan
Pada dasarnya gejala kebudayaan dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan/aktivitas, gagasan/ide dan artefak yang diperoleh, dipelajari dan dialami. Kebudayaan dapat diklasifikasikan atas terknologi sebagai alat-alat yang digunakan, organisasi sosial sebagai kegiatan institusi kebudayaan dan ideologi yang menjadi pengetahuan atas kebudayaan tersebut. Menurut R. Linton, kebudayaan dapat diklasifikasikan atas:(1). Universals: pemikiran-pemikiran, perbuatan, perasaan dan artefak yang dikenal bagi semua orang dewasa di dalam suatu masyarakat, (2). Specialisties: gejala yang dihayati hanya oleh anggota kelompok sosial tertentu, dan (3) Alternatives: gejala yang dihayati oleh sejumlah individu tertentu seperti golongan profesi.
Kebudayaan merupakan gabungan dari keseluruhan kesatuan yang ada dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan mengingat masyarakat pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurasi yang cocok dengan sikap-sikap dan kepercayaan dasar dari masyarakat, sehingga pada akhirnya membentuk sistem yang interdependen, di mana koherensinya lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan pembentuknya. Kebudayaan dapat bersifat sistematis sehingga dapat menjadi selektif, menciptakan dan menyesuaikan menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancar dan berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.
Dalam kebudayaan terdapat subsistem yang paling penting yaitu foci yang menjadi kumpulan pola perilaku yang menyerap banyak waktu dan tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka fokus tersebut akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan fokus tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan akan rusak dan bahkan bisa hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu dipaksakan, sehingga tidak sesuai dengan keadaan masyarakat tempat kebudayaan tersebut berkembang. Perubahan tersebut didorong oleh adanya tingkat integrasi yang tinggi di dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi maka kebudayaan tersebut akan mudah menyerap serangkaian inovasi sehingga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri.
d. Beberapa Sifat Kebudayaan
Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat memiliki sifat seperti: (1) Bersifat organik dan superorganik karena berakar pada organ manusia dan juga karena kebudayaan terus hidup melampaui generasi tertentu, (2) Bersifat terlihat (overt) dan tersembunyi (covert) terlihat dalam tindakan dan benda, serta bersifat tersembunyi dalam aspek yang mesti diintegrasikan oleh tiap anggotanya, (3) Bersifat eksplisit dan implisit berupa tindakan yang tergambar langsung oleh orang yang melaksanakannya dan hal-hal yang dianggap telah diketahui dan hal-hal tersebut tidak dapat diterangkan, (4) Bersifat ideal dan manifest berupa tindakan yang harus dilakukannya serta tindakan-tindakan yang actual, dan (5) Bersifat stabil dan berubah yang diukur melalui elemen-elemen yang relatif stabil dan stabilitas terhadap elemen budaya.

C. Kesimpulan
Semakin cepatnya perubahan kebudayaan, maka semakin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya itu sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, di mana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan.
Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktik pendidikan di dalam prespektif budaya, tapi juga mengenai asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktik-praktik pendidikan. Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan


Daftar Pustaka
Manan, Imran. 1989. Antropologi Pendidikan Suatu Pengantar. Jakarta: Debdikbud.
READ MORE - ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN

TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR

Pendahuluan
Ketika berbicara dengan orang lain, kita menggunakan kalimat atau lebih tepatnya tuturan. Tuturan tersebut bisa dikelompokkan dalam berbagai cara, antara lain melalui panjang-pendek tuturan, struktur gramatikal, dan struktur semantik atau logika dari tuturan tersebut. Selain itu, pengelompokkan bisa dalam bentuk fungsi, yakni mengenai apa yang ditindak oleh tuturan tersebut.
Jika kita melihat percakapan secara umum, maka dapat terlihat bahwa percakapan melibatkan lebih dari sekedar penggunaan bahasa untuk menyatakan proposisi atau menjelaskan fakta-fakta. Melalui percakapan kita membangun hubungan dengan orang lain, mencapai suatu langkah kerjasama, menjaga hubungan tetap terbuka bagi hubungan yang lebih jauh. Dalam pembahasan ini kita akan mengkaji tentang tindak tutur dan penggunaannya dalam percakapan dan kehidupan sehari-hari.

II. Pembahasan
A. Tindak Tutur: Austin dan Searle
Peristiwa tutur merupakan suatu peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi tertentu dan tempat tertentu. Peristiwa tutur pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O Urmson (1965) dengan judul How to Do Thing with Word? Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969), menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in the Philosophy of Language.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang teori tindak tutur, terlebih dahulu kita harus memahami tentang jenis kalimat. Menurut tata bahasa tradisional, ada tiga jenis kalimat, yaitu kalimat deklaratif, kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar untuk menaruh perhatian saja, sebab, maksud pengujar hanya memberitahukan saja. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar memberi jawaban secara lisan, sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat itu secara terlepas. Kalau kalimat-kalimat tersebut dipandang dari tataran yang lebih tinggi, misalnya dari tingkat wacana, maka kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara bentuk formalnya dan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan, tetapi menjadi suatu bentuk perintah.
Austin membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, seperti, "Ibu dosen kami cantik sekali", atau "Pagi tadi dia terlambat bangun". Sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya, apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya, misalnya, "Saya menamakan kapal ini "Liberty Bell", maka makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya.
Sebuah kalimat performatif harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
1. Prosedur konvensional harus ada untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Prosedur tersebut harus menentukan siapa yang harus mengatakan, dan melakukan apa, serta dalam situasi apa.
2. Semua peserta harus melaksanakan prosedur ini dengan patut dan melaksanakannya secara sempurna.
3. Pemikiran, perasaan dan tujuan tentang hal tersebut harus ada pada semua pihak.

Kalimat performatif ini lazim digunakan dalam upacara pernikahan, perceraian, kelahiran, kematian, kemiliteran dan sebagainya. Dalam pengucapannya, kalimat performatif biasanya ditunjang oleh tindakan atau perilaku yang nonlinguistik, seperti pemukulan gong, pengetukan palu dan sebagainya.
Kalimat performatif dapat dibagi atas situasi resmi dan yang tidak resmi. Yang pertama sudah dijelaskan sebelumnya. Yang kedua, adalah kalimat yang tidak terikat oleh ketiga syarat yang disebutkan di atas. Kita dapat memberikan contoh, "Saya berjanji...", Kami minta maaf atas...", Kami peringatkan Anda..., dan Saya bersedia hadir dalam...".
Kalimat performatif dapat juga digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit artinya menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya dan kami. Umpamanya, "Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya", "Kami minta maaf atas keterlambatan pembayaran hutang itu", dan "Saya peringatkan, kalau Anda sering bolos, Anda tidak boleh ikut ujian".
Kalimat performatif yang implisit adalah kalimat yang tanpa menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku, misalnya, "jalan ditutup" atau "ada perbaikan jalan" dan "ada ujian". Di balik kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tentu ada pihak yang meminta kita melakukan apa yang dimintanya.

Austin membagi kalimat performatif menjadi lima kategori, yaitu:
1. Kalimat verdiktif, yakni kalimat perlakuan yang menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya," Kami menyatakan terdakwa bersalah".
2. Kalimat eksersitif, yakni kalimat perlakuan yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, "Kami harap kalian setuju dengan keputusan ini".
3. Kalimat komisif, adalah kalimat perlakuan yang dicirikan dengan perjanjian; pembicara berjanji dengan anda untuk melakukan sesuatu, "Besok kita menonton sepak bola.
4. Kalimat behatitif, adalah kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, "Saya mengucapkan selamat atas pelantikan Anda sebagai siswa teladan|".
5. Kalimat ekspositif adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan atau perincian kepada seseorang, misalnya, "Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak bersalah".
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin, dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1. Tindak tutur lokusi - adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti terbatas, atau tindak tutur dalam kalimat yang bermakna dan dapat dipahami, misalnya, "Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya". Searle menyebut tindak tutur ini dengan istilah tindak bahasa proposisi.
2. Tindak tutur ilokusi - adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ini biasanya berkaitan dengan pemberian izin, ucapan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan, misalnya, "Ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat".
3. Tindak tutur perlokusi - adalah tindak tutur yang berkaitan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilahku nonlinguistik dari orang lain, misalnya, karena adanya ucapan dokter, "Mungkin Ibu menderita penyakit jantung koroner", maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan si dokter adalah tindak tutur perlokusi.

Dalam suatu peristiwa tutur, peran pembicara dan pendengar dapat berganti-ganti. Dalam kaitan ini, Austin melihat tindak tutur dari pembicara, sedangkan Searle melihat tindak tutur dari pihak pendengar. Menurut Searle, tujuan pembicara sukar diteliti, sedangkan interpretasi pendengar mudah dilihat dari reaksi-reaksi yang diberikan terhadap pembicara.
Menurut Searle kita bisa memperlihatkan tiga jenis tindakan ketika kita berbicara, yaitu tindakan tuturan, tindakan proposisi, dan tindakan ilokusi. Tindakan tuturan sama dengan tindakan lokusi oleh Austin. Tindakan tuturan mengacu pada fakta bahwa kita harus menggunakan kata-kata dan kalimat jika kita ingin mengatakan apapun. Tindakan proposisi adalah hal-hal yang berkaitan dengan acuan atau ramalan, sedangkan tindakan lokusi berkaitan dengan tujuan pembicara yaitu pernyataan, pertanyaan, janji, atau perintah.
Kalau dilihat dari konteks situasi, ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur yang pertama mudah dipahami oleh si pendenagr karena ujarannya berupa kalimat dengan makna-makna lugas, sedangkan yang kedua hanya dapat dipahami oleh si pendengar yang sudah cukup terlatih dalam memahami kalimat yang bermakna konteks situasional.
Selain bentuk ujaran di atas, kita mengenal bentuk ujaran yang disebut dengan tipe fatis, seperti kata-kata "Udara hari ini cerah ya?" atau "Bagaimana kabarmu?", dan "Anda terlihat cemerlang hari ini!". Kita menggunakan ungkapan tersebut bukan ditujukan untuk isi ujaran, tetapi lebih pada nilai-nilai afektif sebagai suatu indikator bahwa seseorang ingin berkomunikasi dengan orang lain, untuk membuka percakapan, atau menjaga hubungan tetap terbuka dengan orang lain. Ungkapan fatis tidak bermaksud untuk benar-benar membicarakan sesuatu, tetapi lebih cenderung untuk membuka suatu aktifitas percakapan. Menurut Malinowski, ungkapan fatis atau phatic communion ini adalah salah satu tipe percakapan yang ikatan hubungannya diciptakan dengan bertukar kata-kata. Dalam keadaan tersebut, kata-kata tidak membawa arti, tetapi membawa fungsi sosial, dan hal tersebut adalah tujuan yang prinsipil.

B. Kerjasama dan Muka : Grice dan Goffman
Menurut Grice, kita mampu berbicara dengan orang lain karena kita mengetahui tujuan umum dalam percakapan tersebut dan tahu cara yang spesifik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Agar tindak tutur dilakukan dengan efektif, orang perlu mematuhi prinsip kerja sama.
Prinsip kerja sama Grice berisi maksim-maksim (aturan-aturan) dalam bertindak tutur agar tindak tutur yang dilakukan efektif dan efisien. Maksim-Maksim dalam Prinsip Kerja Sama tersebut adalah:
1. Maksim Kualitas
• Jangan sampaikan pesan yang tidak benar.
• Jangan sampaikan pesan yang kamu tidak tidak mempunyai bukti kebenaran pesan itu. Dengan kata lain, dalam bertindak tutur sampaikanlah pesan yang benar atau pesan yang ada bukti kebenarannya.
2. Maksim Kuantitas
• Jangan sampaikan pesan yang kurang dari yang dibutuhkan oleh mitra tutur (petutur)
• Jangan sampaikan pesan yang melebihi yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Dengan kata lain, agar tindak tutur kita efektif, sampaikanlah pesan sebatas yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Jangan kurang, tetapi jangan pula lebih. Jika pesan kurang dari yang dibutuhkan akan membingungkan atau sulit dipahami. Jika pesan lebih dari yang dibutuhkan, tindak tutur menjadi membosankan.
3. Maksim hubungan
• Jangan sampaikan pesan yang tidak saling berhubungan.
• Sampaikanlah pesan yang saling berhubungan.
4. Maksim cara
• Jangan sampaikan pesan secara ambiguitas.
• Sampaikanlah pesan secara jelas.
• Sampaikanlah pesan dengan singkat.

Menurut Geoffrey Leech, kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Prinsip kerja sama unggul untuk bertindak tutur yang mengutamakan ketepatan, keakuratan dan keefisienan penyampaian pesan, misalnya untuk penulisan karya ilmiah atau untuk presentasi ilmiah. Sebaliknya, prinsip kerja sama tidak efektif dalam tindak tutur yang mengutamakan terbentuknya hubungan sosial antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, untuk kepentingan hubungan sosial, khususnya untuk membentuk sopan-santun berbahasa, prisip kerja sama Grice sering dilanggar.
Percakapan adalah suatu bentuk kerjasama dimana pembicara dan pendengar cenderung menerima tentang sesuatu hal yang sudah disepakati. Dengan kata lain, mereka menerima 'muka' yang ditawarkan pihak lain. 'Muka' tersebut bisa berbeda antara satu dengan yang lain berdasarkan situasi. Pada suatu waktu, muka yang ditawarkan pada kita adalah sebagai teman akrab, pada kesempatan lain, sebagai seorang guru, dan muka yang ketiga bisa saja sebagai wanita muda. Kita akan memakai kata-kata pada orang lain berdasarkan muka yang ditampilkan orang tersebut. Kita akan terlibat apa yang disebut Goffman dengan face-work (kerja-muka), yaitu kerja menampilkan muka pada satu sama lainnya, melindungi muka sendiri, dan melindungi muka orang lain. Kita akan memainkan semacam drama mini dan bekerjasama untuk melihat tidak ada yang salah dengan penampilan itu. Hal tersebut merupakan sebuah norma.

C. Beberapa Karakteristik Percakapan
Tuturan ada yang direncanakan dan ada yang tidak. Tuturan yang tidak direncanakan, diucapkan tanpa berpikir atau mendahului ekspresi. Tuturan ini mempunyai ciri-ciri: adanya pengulangan/repetisi, menggunakan kalimat aktif sederhana, pembicara dan pendengar bekerjasama untuk membuat proposisi, menghubungkan klausa dengan kata "dan", serta "tetapi", penghilangan subjek dan referen, menggunakan deiktis seperti "ini", "itu" "di sana", "di sini". Dengan demikian, pembicaraan yang tak terencana adalah tuturan yang tidak terorganisir.
Dapat dikatakan bahwa percakapan terkonsep secara lokal. Hal ini berarti, percakapan cenderung dilakukan tanpa rencana yang sadar dan bergantung pada para partisipan untuk mengaturnya dengan menggunakan sejumlah sarana dan prinsip yang sudah diketahui untuk digunakan dalam percakapan.
Salah satu sarana organisasi percakapan yang digunak adalah Adjacency pair (pasangan yang sesuai). Tipe tuturan dengan berbagai jenis ditemukan secara berulang: seperti salam dijawab dengan salam; ceramah mendapat tanggapan; pertanyaan mendapat jawaban; permintaan dan penawaran mendapat jawaban atau penolakan dan sebagainya.
Percakapan adalah kegiatan kerjasama yang melibatkan dua atau lebih pihak, yang masing-masingnya dibolehkan menggunakan kesempatan untuk berpartisipasi. Karena itu, harus ada prinsip yang mengatur siapa yang harus berbicara. Hal ini disebut juga turn-taking atau giliran berbicara. Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari lima persen tuturan yang saling berhimpitan, dan kekosongan antara tuturan kadang-kadang hanya terhitung beberapa mikrosekon dan kadang-kadang hanya sepersepuluh detik. Pergiliran bicara ini dilakukan dalam berbagai keadaan, di antaranya terjadi antara beberapa partisipan dalam percakapan biasa dan dalam telepon. Karena itu, ada semacam rambu-rambu yang harus disadari supaya kita bisa melakukan pergiliran bicara dengan baik. Sangat jarang ditentukan waktu giliran berbicara dalam berbagai peristiwa, misalnya debat resmi yang waktunya telah ditetapkan sebelumnya. Percakapan umum tidak menggunakan praalokasi waktu. Partisipan biasanya menggunakan giliran berbicara secara alamiah.

III. Penutup
Pembicaraan tentang tindak tutur dan peristiwa tutur tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai makhluk sosial yang butuh berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, perlu prinsip-prinsip yang harus disepakati agar terjalinnya komunikasi yang efektif dan efisien. Lewat teori-teorinya yang berkaitan dengan tindak tutur dan peristiwa tutur, Austin, Searle, Greece, dan Goffman, berusaha memberikan prinsip-prinsip komunikasi yang berkaitan dengan kesopanan atau rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi dalam masyarakat. Dengan memahami dan mengaplikasikan teori-teori tersebut, diharapkan kita lebih mampu berkomunikasi dengan baik di segala situasi dan kondisi agar tercapai tujuan yang kita inginkan.

Sumber Rujukan
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan awal. Jakarta: Rhineka Cipta

Wardhaugh, Ronald.1986. An Introduction to Sosiolinguistics. New York: Basil Blackwell
(berdasarkan hasil diskusi kelompok mata kuliah Sosiolinguistik)
READ MORE - TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR

BAHASA DAN KENDALANYA (LANGUAGE AND DISADVANTAGE)

I. Pendahuluan
Seperti yang kita ketahui, masing-masing bahasa yang dimiliki oleh setiap individu tidak sama, memiliki keberagaman bahasa masing-masing, dan keberagaman tersebut nantinya dapat dilihat ketika seseorang menggunakan bahasa yang di dalam berbagai kesempatan. Antara individu satu dengan individu yang lain memiliki perbedaan bahasa, bahkan untuk masyarakat bahasa pun di dalamnya memiliki perbedaan yang saling tumpang tindih dari segi bahasa. Pada makalah ini, kita akan melihat dua bahasa yang sebenarnya sama dari maksudnya, tapi di dalam situasi penggunaan bahasa tersebut berbeda, dan hal ini merupakan kerugian dari bahasa itu sendiri.
Contoh kasus untuk permasalahan tersebut adalah bahasa Inggris yang digunakan oleh warga Amerika Serikat, bahasa Inggris yang digunakan oleh warga kulit putih dan warga kulit hitam memiliki perbedaan walaupun memiliki maksud yang sama. Beberapa faktor yang dianggap oleh para ahli mempengaruhi perbedaan tersebut adalah perbedaan kelas sosial dan latar belakang pendidikan. Pada makalah ini akan membahasa Bernstein dan kodenya, bahasa Inggris hitam (Black Inggris) yakni bahasa Inggris yang digunakan oleh warga kulit hitam yang berdomisili di Amerika Serikat, dan konsekuensi perbedaan bahasa yang digunakan oleh komunitas Black Inggris di dalam Pendidikan.

II. Ringkasan Materi
1. Bernstein dan kode-kodenya
Basil Bernstein adalah ahli sosiolog asal Inggris, memiliki pengaruh yang kuat dalam permasalahan atau bidang pendidikan, terutama di Inggris Raya. Bernstein tertarik dalam bidang sosialosasi, bagaimana seorang anak mengakuisisi identitas budaya tertentu dan meresponnya. Dalam artian, dia memiliki ketertarikan dengan peran bahasa dalam sosialisasi. Di dalam pemahaman oleh Berstein, bahasa yang baik dipengaruhi oleh budaya, keduanya saling mempengaruhi dan memiliki keterkaitan yang erat. Berstein percaya, bahwa ada hubungan secara langsung atau hubungan timbal balik antara jenis bahasa tertentu dengan struktur sosial, baik ketika munculnya atau lahirnya bahasa tersebut dan melestarikannya, dan cara seseorang ketika menggunakan bahasa di dalam struktur sosial. Jadi, menutur Berstein bahasa dipengaruhi oleh struktur sosial tertentu yang ada di dalam masyarakat itu sendiri.
Individu menpelajari peran sosial mereka di dalam proses berkomunikasi. Proses ini berbeda antara satu kelompok sosial dengan kelompok sosial yang lain, karena setiap individu yang ada di dalam kelompok sosial tersebut berbeda satu sama lain, yakni keberadaan peraturan atau kebiasaan yang berbeda di masyarakat. Bernstein menyatakan, bahwa ada dua jenis yang sedikit berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Dia menjabarkan dalam bentuk kode (awalnya dalam bentuk kode yang formal) dan berbagai hal lainnya yang dibatasi oleh kode (kode awalnya publik). Menurutnya, kode ini memiliki karakteristik yang sangat berbeda. Misalnya, dijabarkan menggunakan kode yang akurat dan ketertiban gramatikal sintaksis untuk mengatur apa yang dikatakan, menggunakan kalimat kompleks yang menggunakan berbagai macam perangkat untuk subordinasi, menggunakan preposisi untuk menunjukkan hubungan saling keterkaitan dan logis, menggunakan kata ganti saya.
Menurut Bernstein, bahwa setiap bahasa asli memiliki akses ke kode yang dibatasi, karena semua menggunakan kode ini dalam berbagai kesempatan dengan tujuan untuk keakraban dan kekeluargaan. Namun, tidak semua kelas sosial memiliki akses yang sama dengan kode yang dijabarkan, khususnya kelas rendah, yakni orang-orang pekerja kelas bawah dan anak-anak mereka (orang-orang kulit hitam). Secara khusus, anak-anak dari kelas yang lebih rendah memiliki kemungkinan mengalami kerugian berbahasa dalam kehidupan mereka sehari-hari, terutama ketika mereka di sekolah.

2. Bahasa Inggris Hitam (Black Inggris)
Para ahli bahasa menggambarkan tentang kemampuan berbicara orang kulit hitam di Amerika Utara dan mengumumkan tentang bagaimana menyeragamkan kemampuan bicara dalam berbagai hal. Dengan kata lain, orang kulit hitam yang tinggal di New York, Boston, Chicago, Detroit, mempunyai kemampuan bicara yang sama, sebaliknya yang sama tidak bisa bicara dari nonblack, yang tinggal di kota yang sama, dengan kata lain orang kulit hitam dan orang kulit putih yang tinggal di daerah yang sama tapi memiliki kemapuan bicara yang berbeda dari segi bahasa mereka). Kemampuan bicara orang kulit hitam di kota ini mirip dengan kemampuan bicara (bahasa) orang kulit hitam di daerah bagian selatan dalam berbagai hal.
Orang kulit hitam memiliki karakteristik fonologi, morfologi, dan sintaksis yang saling berkaitan erat. Kata-kata seperti thing dan this dalam pengucapannya berbeda, menjadi ting dan dis. Kata bath akan berbunyi seperti baff, brother menjadi bruvvre, nothing menjadi nuffin, dan tread menjadi tred. Beberapa contoh lain yang ditemukan seperti, bik untuk big, kit untuk kid, dan cup untuk cub. Beberapa contoh lainnya yang mungkin tidak bisa berubah pengucapannya, test, deks, dan end dapat diucapkan tanpa konsonan terakhir mereka. Bentuk jamak dari test sebenarnya adalah tess atau tesses, tegantung pada bagaimana individu tersebut mengucapkannya dalam bentuk jamak. Carol, Paris, protect, dan from mungkin memperlihatkan hilangnya r, dan car and cart akan selalu memperlihatkan hilangnya r . sebagai contoh lain, your brother mungkin menjadi identik you brother ketika diucapkan. Hal ini merupakan menjadi satu di antara kerugian bahasa.
Dalam morfologi, akhiran t dan d sering tidak dibunyikan. Misalnya, I walked ketika diucapkan akan terdengar seperti I walk. Selanjutnya secara sintaksis, orang kulit hitam menggunakan be, atau gabungan kata kerja nol (the zero copula), sebagai contoh He nice (sebenarnya diucapkan dalam bentuk kalimat He is nice right now) dan He be nice (He be nice sometimes). Dalam kasus ini gabungan kata kerja nol jarang ditemukan di dalam kemampuan bicara orang kulit putih.

3. Beberapa Konsekuensi dalam Pendidikan
Telah terjadi kesalahpahaman yang meluas di Amerika Serikat, yakni oleh warga kulit hitam pengguna bahasa Inggris , baik dari segi karakteristik dan bagaimana bahasa tersebut digunakan. Kesalahpahaman ini mengakibatkan konsekuensi yang menjadi kerugian bagi bahasa itu sendiri. Bagi para pendidik, karakteristik warga kulit hitam yang juga menggunakan bahasa Inggris di dalam berkomunikasi sehari-hari (Black Inggris) merupakan suatu kekurangan atau kelemahan: anak-anak mereka (Black Inggris-red) memiliki kemampuan berbahasa yang kurang baik akibat dari karakteristik tersebut, dengan bahasa yang tidak memiliki beberapa fitur standar dan konsekuensi dari kekurangan yang kognitif.
Bereiter dan Engelman pada tahun 1966 (dalam Wardaugh, 1986:327), menyatakan bahwa anak-anak yang memiliki kemampuan berbahasa seperi itu menunjukkan total kurangnya di dalam menggunakan bahasa sebagai perangkat untuk mendapatkan dan memproses informasi. Bahasa bagi anak-anak tersebut adalah sangat berat untuk dipelajari dan tidak ada manfaatnya. Pada tahun 1960, pandangan tersebut menyebabkan beberapa pendapat tentang bagaimana cara atau solusi untuk mengajarkan berbagai bahasa yang standar kepada anak-anak kulit hitam. Untuk mengatasi masalah kekurangan mereka yang diyakini ada, Bereiter dan Engelmann mengusulkan program yang dirancang untuk mengajarkan anak-anak kulit hitam bagaimana cara berbicara di dalam berkomunikasi yang baik: misalnya, tentang bagaimana membuat pernyataan yang baik dan benar, mengembangkan sebuah konsep atau topik dari hal yang besar ke hal yang kecil, bagaimana menggunakan preposisi, dan lain-lain. Jadi, berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh pendidik ketika mengajarkan berbahasa kepada anak-anak kulit hitam, dapat dikatakan mereka (anak-anak kulit hitam) tidak memiliki bahasa, dan dalam hal ini peran, tugas, dan tanggung jawab seorang pendidik untuk membantu dan memperbaiki kesalahpahaman yang selama ini terjadi di dalam berbahasa.

III. Kesimpulan
Bahasa dipengaruhi oleh peran sosial, struktur sosial, atau kelas sosial yang ada di dalam suatu masyarakat walaupun mereka tinggal di daerah yang sama. Bahasa yang mereka gunakan akan berbeda, secara fonologi, morfologi, dan sintaksis, terutama bagi orang-orang kulit hitam (Black Inggris). Pengucapan mereka akan berbeda walaupun maksud yang ingin disampaikan adalah sama. Hal ini menjadi satu di antara kerugian bahasa terutama di dalam bidang pendidikan.

Daftar Rujukan
Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sosiolinguistics. New York: Basil Blackweel.
READ MORE - BAHASA DAN KENDALANYA (LANGUAGE AND DISADVANTAGE)

Kamis, 09 Desember 2010

Analisis Makna Konotatif dalam kumpulan Artikel The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta Karya Andre Syahreza

ABSTRAK


Anggia Pratiwi. 2007. “Analisis Makna Konotatif dalam Kumpulan Artikel The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta Karya Andre Syahreza”. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Bung Hatta.


Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk ragam makna konotatif kolektif yang terdiri dari konotasi tinggi, konotasi ramah, konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, konotasi keras, konotasi bentukan sekolah, konotasi kanak-kanak, konotasi hipokoristik, dan konotasi bentuk nonsens. Teori-teori yang digunakan sebagai pedoman dalam penelitian ini adalah jenis-jenis makna menurut Abdul Chaer (1994) dan ragam makna konotatif kolektif menurut Henry Guntur Tarigan (1985).
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Berdasarkan hasil analisis data 7 ragam makna konotatif kolektif, yaitu konotasi tinggi (79 data), seperti aikon, presiden, supply, post-modernis, dan ideologi. Konotasi ramah (43 data), seperti ngobrol, tengok, singgah, gini, dan pegi. Konotasi berbahaya (10 data), seperti tahayul, kepercayaan-kepercayaan purba, setan, tumbal, dan secte gothic. Konotasi tidak pantas (10 data), seperti kerangkeng, mati, gila seks, pangeran vagina, si parasit lajang, dan mahluk seksual. Konotasi tidak enak (39 data), seperti kelainan jiwa, gangguan jiwa, pelacur, wanita-wanita malam, pecandu, dan nyontek. Konotasi kasar (21 data), seperti pengacau, begundal, perempuan nakal, haram, cewek-cewek nakal, istri simpanan, gembel, dan gelandangan. Konotasi keras (28 data), seperti naik pitam, berapi-api, sedramatis, badut-badut kapitalisme, masa silam, dan lautan aturan. Sedangkan 4 bentuk ragam makna konotatif yang lain, yaitu konotasi bentukan sekolah, konotasi kanak-kanak, konotasi hipokoristik, dan konotasi bentuk nonsens tidak ditemukan. Nilai rasa yang terdapat dalam konotasi bentukan sekolah tidak dapat dimaknai secara jelas, karena selain bentuk bahasanya terlalu formal (nilai rasa yang dipelajari disekolah) juga sulit membedakannya dengan nilai rasa biasa. Konotasi kanak-kanak, konotasi hipokoristik, dan konotasi bentuk nonsens sudah tidak lazim lagi digunakan.
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa dalam kumpulan artikel The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta karya Andre Syahreza lebih banyak menggunakan kata-kata, istilah-istilah, dan ungkapan-ungkapan yang memiliki 7 makna konotatif kolektif, yaitu konotasi tinggi, konotasi ramah, konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, dan konotasi keras. Karena makna-makna konotasi tersebut lebih menarik, mudah dipahami oleh masyarakat secara umum, karena sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
READ MORE - Analisis Makna Konotatif dalam kumpulan Artikel The Innocent Rebel: Sisi Aneh Orang Jakarta Karya Andre Syahreza

Makna Konotatif Kolektif Henry Guntur Tarigan

Tarigan (1985: 60--79) mengklasifikasikan makna konotatif kolektif sebagai berikut: (1) konotasi tinggi, (2) konotasi ramah, (3) konotasi berbahaya, (4) konotasi tidak pantas, (5) konotasi tidak enak, (6) konotasi kasar, (7) konotasi keras, (8) konotasi bentukan sekolah, (9) konotasi kanak-kanak, (10) konotasi hipokoristik, dan (11) konotasi bentuk nonsens
1 Konotasi Tinggi
Sudah merupakan hal yang biasa terjadi bahwa kata-kata sastra dan kata-kata klasik lebih indah dan anggun terdengar oleh telinga umum. Oleh karena itu, kata-kata tersebut mendapat konotasi atau nilai rasa tinggi atau konotasi baik. Biasanya kata-kata asing yang kurang dipahami maknanya secara umum, secara tidak langsung dinilai memiliki nilai rasa tinggi. Berikut beberapa contoh kata-kata yang mengandung nilai rasa tinggi:
aktif ‘giat’
bahtera ‘perahu, kapal’
ejawantah ‘penjelmaan’
eksistensi ‘kehidupan’
fantasi ‘bayangan’

2 Konotasi Ramah
Ketika kita berhubungan dengan orang lain dalam lingkungan masyarakat, dalam berkomunikasi seseorang atau sekelompok masyarakat sering menggunakan bahasa daerah ataupun dialek untuk menyatakan hal-hal yang langsung berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, karena dengan menggunakan bahasa daerah justru lebih mudah, lebih cepat terasa akrab, dan ramah daripada menggunakan bahasa Indonesia yang terkesan kaku dan terlalu formal. Jadi, dapat disimpulkan kata-kata yang memiliki makna konotasi ramah biasanya terdapat dalam bahasa daerah. Berikut beberapa contoh kata-kata yang memiliki makna konotasi ramah:
nongkrong ‘duduk, jongkok’
nonsens ‘omong kosong’
ngobrol ‘bercakap-cakap’
longok ‘tengok, jenguk’
ganteng ‘gagah, gaya’

3 Konotasi Berbahaya
Kata-kata yang memiliki makna konotasi berbahaya erat sekali berhubungan dengan kepercayaan masyarakat dengan hal-hal yang bersifat magis. Untuk itu, dalam lingkungan pergaulan masyarakat seseorang harus berhati-hati dalam mengucapkan suatu kata agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, yang dapat mendatangkan kesulitan. Misalnya, kata harimau bersifat tabu dan dilarang untuk diucapkan dalam suatu daerah terutama di dalam hutan. Karena apabila kata tersebut diucapkan, ditakutkan akan bertemu dengan harimau yang sebenarnya. Untuk menghindari hal tersebut, kata harimau diganti dengan kata nenek, kiai, dan lain-lain yang tidak memiliki konotasi berbahaya. Jadi, kata harimau memiliki makna konotasi berbahaya.

4 Konotasi Tidak Pantas
Berinteraksi dalam lingkungan masyarakat, seseorang sebelum mengucapkan suatu kata hendaknya dipikir terlebih dahulu apakah kata tersebut pantas atau tidak diucapkan. Karena tidak semua kata memiliki nilai yang pantas untuk diucapkan, dirasa memiliki makna yang negatif atau tidak pantas. Pemakaian dan pengucapan kata-kata yang berkonotasi tidak pantas mengakibatkan menyinggung perasaan seseorang. Beberapa contoh kata-kata yang memiliki makna konotasi tidak pantas, beranak, bunting, bini, laki, mampus, rakus, berak, tahi, kontol, puki, dan lain-lain.

5 Konotasi Tidak Enak
Jika konotasi tidak pantas membicarakan kata-kata yang memang tidak sepantasnya untuk diucapkan, maka konotasi tidak enak membicarakan kata-kata yang memiliki rasa tidak enak untuk didengar oleh telinga. Berikut contoh kata-kata yang memiliki makna konotasi tidak enak, orang udik (orang desa), keluyuran (jalan-jalan), royal (menghambur-hampurkan), licik (pandai), lacur (celaka, sial, sundal), dan lain-lain.

6 Konotasi Kasar
Ada kalanya kata-kata yang dipakai oleh rakyat jelata terdengar kasar dan mendapat nilai rasa kasar. Biasanya kata-kata tersebut berasal dari suatu dialek dan akibat pengaruh dari budaya luar. Misalnya, kata mampus, jagoan, mani, tetek, gelandangan, pelacur, buta huruf, babu, kacung, dan lain-lain.

7 Konotasi Keras
Untuk melebih-lebihkan suatu keadaan, biasanya seseorang memakai kata-kata atau ungkapan-ungkapan. Jika ditinjau dari segi arti maka hal tersebut dapat disebut hiperbola, dan kalau dari segi nilai rasa atau konotasi disebut konotasi keras. Biasanya kata-kata atau ungkapan yang memiliki konotasi keras, lebih suka diucapkan orang-orang, karena sebagian masyarakat dalam menegur atau menyindir seseorang secara tidak langsung lebih suka melalui kata-kata atau ungkapan yang bermakna konotasi keras daripada secara langsung berterus-terang ke inti permasalahan, dengan alasan untuk menghindari suatu perselisihan. Kata-kata yang memiliki konotasi keras tidak hanya bermakna negatif, tetapi juga bermakna positif seperti memuji seseorang atau menggambarkan sesuatu yang luar biasa. Beberapa contoh kata-kata atau ungkapan bermakna konotasi keras:
indahnya tak terlukiskan dengan kata-kata
sulitnya setengah mati
jurang kematian
lembah kemelaratan
mengharapkan sesuap nasi

8 Konotasi Bentukan Sekolah
Nilai rasa yang terdapat dalam konotasi bentukan sekolah atau Conotation of learned form (nilai rasa yang dipelajari di sekolah) dengan nilai rasa biasa, tidak dapat dimaknai secara jelas. Tetapi karena frekuensi penggunaan nilai rasa biasa agak luas, maka dapat disejajarkan dengan nilai rasa bentukan sekolah. Contohnya dalam kehidupan sehari-hari, kalau orang biasa mengatakan: Saya datang tengah hari, maka orang terpelajar yang telah diberikan pendidikan di sekolah, akan mengatakan: Saya datang pukul 12.00 tepat siang. Contoh kedua merupakan konotasi bentukan sekolah, sedangkan contoh pertama merupakan nilai rasa biasa.



9 Konotasi Kanak-kanak
Nilai rasa konotasi kanak-kanak biasanya terdapat dalam dunia kanak-kanak, tetapi merupakan suatu kenyataan bahwa orang tua pun sering pula turut menggunakannya. Beberapa contoh konotasi kanak-kanak, misalnya papa, mama, mimi, bobo, nyonyo.

10 Konotasi Hipokoristik
Konotasi hipokoristik atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan istilah pet-name or hypochoristic connotation, sering kali dipakai dalam dunia kanak-kanak yaitu sebutan nama kanak-kanak yang dipendekkan lalu diulang. Contoh, kata Lolo, Lili, Lala, Nana, Aa, Uu, dan lain-lain.

11 Konotasi Bentuk Nonsens
Konotasi bentuk nonsens atau dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan istilah connotation of nonsens-form, saat ini walaupun sudah lazim digunakan tetapi sama sekali tidak mengandung arti. Contoh, tra-la-la, pam-pam-pam, dan na-nana-nana.
READ MORE - Makna Konotatif Kolektif Henry Guntur Tarigan

Senyapan dan Kilir Lidah

Dalam proses berbahasa terjadi proses memahami dan menghasilkan ujaran, yakni berupa kalimat-kalimat. Oleh karena itu, Emmon Bach (Tarigan, 1985:3) mengemukakan bahwa Psikolinguistik adalah suatu ilmu yang meneliti bagaimana sebenarnya para pembicara/pemakai bahasa membentuk/membangun kalimat-kalimat bahasa tersebut. Sejalan dengan pendapat tersebut Slobin (Chaer, 2003:5) mengemukakan bahwa psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat-kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi dan bagaimana kemampuan bahasa diperoleh manusia. Secara lebih rinci Chaer (2003:6) berpendapat bahwa psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat struktur bahasa, bagaimana struktur itu diperoleh serta digunakan pada waktu bertutur, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu.
Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dalam kaitan ini Garnham (Musfiroh, 2002:1) mengemukakan Psycholinguistics is the study of a mental mechanisms that nake it possible for people to use language. It is a scientific discipline whose goal is a coherent theory of the way in which language is produce and understood yakni ‘Psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran’.
Ujaran, diproses melalui tiga tahap yakni tahap konseptualisasi, formulasi, dan artikulasi. Tahap konseptualisasi, yakni tahap ketika pembicara merencanakan struktur konseptual yang akan disampaikan. Tahap formulasi, yakni tahap di mana lema yang cocok direktrif dari leksikon mental kita dan kemudian diberi kategori dan struktur sintahsis (N, V, Adj, NP, dan sebagainya). Kemudian tahap yang terakhir, tahap artikulasi yakni tahap di mana kerangka dan isi yang sudah jadi itu diwujudkan dalam bentuk bunyi. Studi tentang produksi kalimat tidak dapat dilakukan secara langsung, melainkan hanya dapat dilakukan secara tidak langsung. Hal ini dikarenakan, langkah awal untuk mengetahui tentang studi produksi kalimat adalah dengan mengobservasi kalimat yang diujarkan. Kemudian melalui langkah selanjutnya, kita harus mencermati bagaimana kalimat tersebut diujarkan, di mana pembicara senyap (pause), di mana dia ragu, dan mengapa dia senyap dan ragu, serta kesalahan-kesalahan apa yang dilakukan oleh pembicara yang mengujarkan kalimat tersebut.
Kesenyapan dan keraguan di dalam ujaran atau kalimat terjadi karena pembicara lupa kata-kata apa yang dia perlukan atau dia sedang mencari kata yang lebih tepat untuk diujarkan. Sehingga terjadilah kesalahan di dalam berujar. Untuk mengetahui dan lebih memahami studi tentang produksi kalimat, kita akan membahas dan menganalisis (1) mengenai senyapan dan kilir lidah yang meliputi pokok pembahasan senyapan (pause), kekeliruan (kilir lidah dan afasia), dan unit-unit kilir lidah, kemudian (2) lupa-lupa ingat dan latah, (3) proses pengujaran, (4) artikulasi kalimat, dan bagaimana kekeliruan terjadi melalui data-data di lapangan yang ditemukan, berkaitan dengan kesalahan di dalam berujar.
Yang dipakai untuk menyimpulkan proses mental yang terjadi pada waktu kita berujar ada dua macam, yakni senyapan (pause) dan kekeliruan (errors). Kekeliruan terbagi lagi menjadi dua kelompok, yakni kekeliruan karena kilir lidah dan kekeliruan karena pembicara menderita afasia.
1. Senyapan (pause)
Tidak semua orang dapat berbicara dengan baik dan lancar untuk semua topik pembicaraan. Pada umumnya orang berbicara sambil berpikir sehingga makin sulit topik yang dibicarakan makin besar jumlah senyapan yang muncul. Senyapan yang lebih umum terjadi adalah pada waktu orang ragu-ragu (hesitation).
Ada berbagai alasan mengapa orang senyap. Pertama, orang senyap karena dia telah terlanjur mulai dengan ujarannya, tapi sebenarnya dia belum siap untuk seluruh kalimat itu. Oleh karena itu, dia senyap sejenak untuk mencari kata atau kata-kata untuk melanjutkan ujarannya. Kedua, kesenyapan terjadi karena dia lupa akan kata-kata yang dia perlukan. Kemudian alasan ketiga, bahwa dia harus sangat berhati-hati di dalam memilih kata agar dampaknya pada pendengar tidak menghebohkan.
Ada dua macam kesenyapan berdasarkan ketidak-siapan maupun keberhati-hatian di dalam berujar sebagai berikut: (1) senyapan diam, contoh: Itu si … Agus kemarin ke sini, dan (2) senyapan terisi, contoh: Itu si … Anu (kemarin datang ke sini).
Orang juga sering mengisi senyapan ini dengan bunyi-bunyi tertentu seperti eh dan uh yang hanya sekedar merupakan pengisi belaka. Misalnya, seseorang yang memiliki kedudukan atau jabatan yang tinggi di pemerintahan banyak sekali memakai pengisi eh atau uh di dalam ujarannya dengan alasan karena keberhati-hatian dia untuk tidak menimbulkan dampak yang keliru atau menggegerkan. Hal ini juga kita sering temukan di acara-acara televisi, seperti infotainment, seorang artis/aktor yang memberikan keterangan/klarifikasi kepada wartawan.
Contoh:
(a) Menurut Bapak Presiden ...eh ... soal ini harus ...eh ... dijadikan dasar ...
(b) Ini merupakan ...eh ...masalah yang ...eh ... perlu diamati agar ...eh ...
Menurut Clark & Clark (dalam Soendjono, 2003:145) bahasa Inggris memiliki pula berbagai cara untuk mengisi senyapan ini dan pengisi ini memiliki makna masing-masing, yaitu:
Oh → untuk pemilihan referen – I would like, oh, carrot.
Ah → untuk kesuksesan memori – I would like, ah, carrot.
Well → untuk kemiripan kata – I would like, well, carrot.
Say → untuk percontohan – I would like, say, carrot.
Begitu juga dengan kata-kata seperti that is, or rather, I mean, dan well juga memiliki makna tertentu. Sedangkan bahasa Indonesia juga memiliki piranti yang sama. Penyiar televisi yang membuat kekeliruan akan memperbaiki kekeliruan tersebut dengan memakai kata-kata atau frasa, seperti maaf atau maksud kami.
Contoh:
(a) Menteri dalam negeri, maksud kami, luar negeri, menyatakan bahwa ...
(b) Peledakan bom di kota, maaf, di Kuta ...
Senyapan keraguan tidak terdapat di sembarang tempat. Akan tetapi, di mana persisnya belum ada kesepakatan yang mantap di antara para ahli. Ada yang mengatakan bahwa senyapan seperti itu terdapat sesudah kata pertama di dalam suatu klausa atau kalimat, tetapi ada pula yang menyatakan bahwa senyapan terdapat sebelum bentuk leksikal. Namun, menurut kesepakatan para ahli mengenai tempat-tempat senyapan terjadi yakni, (1) jeda gramatikal, (2) batas konstituen yang lain, dan (3) sebelum kata utama pertama di dalam konstituen.
2. Kekeliruan
Kekeliruan di dalam berbicara dapat disebabkan oleh kilir lidah atau oleh penyakit afasia. Kilir lidah terjadi karena kita tidak memproduksi kata yang sebenarnya kita kehendaki. Kita memproduksi kata-kata lain, kita memindah-mindahkan bunyi, atau kita mengurutkan kata secara keliru. Berbeda dengan afasia, yaitu kekeliruan yang terjadi dikarenakan otak kita terganggu sehingga kita menjadi tidak mampu untuk mengujarkan kata yang kita inginkan.

a. Kilir Lidah
Kilir lidah adalah suatu fenomena di dalam produksi ujaran, di mana pembicara “terkilir” lidahnya sehingga kata-kata yang diproduksi bukanlah kata yang pembicara maksudkan. Kilir lidah disebabkan oleh seleksi yang keliru, antara lain:
1) Seleksi semantik yang keliru (Freudian slips)
Pada tipe seleksi ini, orang meretrif kata yang ternyata bukan yang dia inginkan. Hal ini dikarenakan, manusia menyimpan kata berdasarkan sifat-sifat kodrati yang ada pada kata-kata itu. Kekeliruan pada seleksi semantik ini pada umumnya berwujud kata yang utuh dan berasal dari medan semantik yang sama. Misalnya: Kamu nanti beli kol, maksud saya, sawi, ya. Pada contoh tersebut, kol dan sawi termasuk di dalam satu kelompok yang dinamakan sayuran. Coba perhatikan pada contoh berikut: Kamu nanti beli kol, maksud saya, pensil, ya. Kekeliruan pada kalimat tersebut mustahil; akan terjadi, karena medan semantik antara kol dan pena adalah berbeda.
2) Kilir lidah malaproprisme
Asal mula lahirnya istilah ini berasal dari peran seorang wanita di dalam sebuah novel karangan Richard Sheridan The Rivals, yang bernama Ny. Malapro. Dalam novel itu Ny. Malapro digambarkan sebagai wanita yang ingin kelihatan berkelas tinggi dengan memakai kata yang muluk-muluk. Akan tetapi, yang terjadi adalah bahwa kata-kata itu bentuknya memang mirip tetapi keliru. Misalnya: allegory untuk alligator (dalam bahasa Inggris) dan antisisapi untuk antisipasi.
3) Campur kata (blends)
Kekeliruan pada tipe ini muncul apabila seseorang tergesa-gesa sehingga dia mengambil satu atau sebagian suku kata dari kata pertama dan satu atau sebagian suku lagi dari kata yang kedua dan kemudian kedua bentuk itu dijadikan satu. Di dalam bahasa Inggris sering terjadi, tapi kesalahan tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan kata yang lebih pendek. Misalnya: Please expland (dari explain menjadi expand). Sedangkan di dalam bahasa Indonesia, fenomena kesalahan campur-kata seperti ini tampaknya sangat jarang. Hal ini disebabkan oleh kata di dalam bahasa Indonesia umumnya bersuku kata dua atau lebih sehingga, mungkin, percampurannya akan tidak mudah.
3. Unit-unit pada Kilir Lidah
Secara garis besar unit-unit pada kilir lidah adalah fitur distingtif, segment fonetik, sukukata, kata, dan konstituen yang lebih besar dari kata.
a. Kekeliruan Fitur Distingtif
Kekeliruan ini terjadi apabila yang terkilir bukan suatu fonem, tetapi fitur distingtif dari fonem itu saja. Contohnya: clear blue sky → glear plue sky. Kekeliruan dari clear ke glear sebenarnya bukan penggantian fonem /k/ menjadi /g/, tetapi penggantian fitur distingtif [-vois] dengan [+vois]. Kekeliruan ini sangat jarang terjadi. Di dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan pada kata Paris menjadi Baris.
b. Kekeliruan Segmen Fonetik
kekeliruan segmen fonetik merupakan kekeliruan yang paling umum, yang jumlah fiturnya lebih dari satu. Contoh: with this ring I thee wed → with this ring I thee red left hemisphere → heft lemisphere. Bunyi /r/ pada ring mempunyai titik artikulasi yang berbeda dengan /w/ pada wing, begitu juga dengan bunyi /l/ dan /h/ pada left dan hemisphere. Kekeliruan di mana bunyi yang saling mengganti ini berbeda lebih dari satu fitur distingtif dinamakan kekeliruan segmen fonetik. Dapat dikatakan bahwa kekeliruan seperti ini adalah kekeliruan di mana fonem bertukar tempat.
c. Kekeliruan Sukukata
Dalam bahasa Indonesia kita sering temukan kekeliruan pada sukukata, contohnya: ke-pa-la → ke-la-pa, se-mi-nar → se-ni-mar, dst.
d. Kekeliruan Kata
kekeliruan ini terjadi bila yang tertukar tempat adalah kata. Contoh: tank of gas → gas of tank, go for broke → broke for go. Kekeliruan ini kadang-kadang berlalu tanpa pembicara menyadarinya.
DAFTAR RUJUKAN
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Dardjowidjojo, Soenjono. 2003. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tarigan Nababan, Sri Utari Subiyakto. 1992. Psikolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Musfiroh, Tadkirotun. 2002. Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
READ MORE - Senyapan dan Kilir Lidah