Senin, 08 November 2010

Laskar Pelangi: Novel atau bukan?

novel, merupakan salah satu contoh dari gengre sastra prosa selain puisi dan drama.
novel adalah karya sastra yang ditulis berdasarkan daya imaginasi atau daya khayal pengarangnya, bagaimana sang pengarang bermain dengan kata-kata dan menjadikannya sebuah cerita panjang dan menarik, baik itu dengan tema percintaan bak ‘romeo n juliet’, atau petualangan atau misteri atau bahkan aksi bak ‘harry potter’nya JK Rowling dan ‘twilight saga’nya Stefani, atau ‘cinta terlarang’nya Andre Aciman yang mengisahkan percintaan sesama jenis dua orang pria yang berbeda latar belakang dan kepribadian. akan tetapi yang jelas itu semua bersifat fiktif belaka, karena salah satu syarat sebuah karya sastra dikatakan sebagai prosa adalah karya sastra tersebut bersifat fiktif (fiksi), tidak nyata, dan hanya berasal dari daya imajinasi sang pengarang.
lalu bagaimana dengan “Laskar Pelangi”?
setiap orang … bahkan semua orang mengatakan bahwa itu novel.

coba kita kembalikan lagi pada hakikat sebuah karya sastra terutama novel dan coba lihat dan kaji ulang kembali syarat-syarat sebuah tulisan bisa disebut sebagai karya sastra.

sebuah pemaparan dikatakan karya sastra prosa (misalnya, novel) jika dipenuhi beberapa syarat. pertama, di dalamnya terdapat deretan peristiwa. dua, peristiwa menghendaki adanya tokoh. tiga, deretan peristiwa dan tokoh itu adalah peristiwa dan tokoh fiktif (Atmazaki, 2007:38)

apakah masih bisa Laskar Pelangi yang mencetak banyak prestasi itu dikatakan sebagai sebuah novel?
Laskar Pelangi menghadirkan tokoh-tokoh yang awalnya dianggap tokoh fiktif atau imajinasi belaka oleh pembaca, tetapi tiba-tiba saja tokoh-tokoh tersebut muncul di dunia nyata, bahkan salah seorang tokoh mendapatkan penghargaan “Satya Lencana” sebagai pendidik yang berjasa.
bagaimana dengan para pendidik yang telah mengabdikan dirinya puluhan tahun di dalam dunia pendidikan, yang berada jauh dari hiruk pikuk keramaian, harus puas dengan gaji seadanya, sendirian mengajar satu sekolah karena tidak ada staf guru yang membantu, bahkan gaji yang seharusnya dinikmati harus habis hanya untuk membayar ongkos pulang pergi ke sekolah.
mengapa pemerintah tidak memberikan mereka penghargaan yang sama?
mengapa lebih memilih sosok yang hanya mereka kenal melalui tulisan seseorang?
sungguh suatu keanehan tapi nyata
lalu … bagaimana menurut anda?
“berdasarkan pendapat seseorang yang ahli di bidang sastra”
READ MORE - Laskar Pelangi: Novel atau bukan?

Rabu, 03 November 2010

Sastra, Politik, dan Ideologi

A. Pendahuluan
Dunia sastra memperlihatkan kepada kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaan manusia itu sendiri. Di dalamnya mencakup kompleksitas ideologi, politik, kritinisasi, norma hidup, etika, tradisi, pandangan dunia luar, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebudayaannya, disoroti sebagai mahluk sosial, mahluk politik, mahluk kebudayaan, dan mahluk ekonomi. Jadi dapat disimpulkan, bahwa sastra disebut sebagai cerminan dari masyarakat dan zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa serta dalam suatu konteks sejarah tertentu.
Menurut Hamif Afif (2008) di dalam dunia sastra, wilayah sastra dibagi menjadi dua bagian. Pertama, wilayah ekspresif yang bergerak di dalam bidang ekspresi. Kedua, wilayah apresesiatif yang bergerak di dalam bidang apresiasi sastra. Pada tataran ekspresi, unsur pembangun yang paling menonjol di dalam karakter karya sastra adalah unsur ekstrinsik yang di dalam hal ini adalah ideologi. Dalam banyak hal, sastrawan yang dipengaruhi unsur intrinsik (ideologi) cenderung menggunakan sastra sebagai “kendaraan kebenaran” atau paham yang mereka anut untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran mereka.
Ketika kebebasan berekspresi seseorang “dibungkam” dengan aturan yang ada, permainan kata-kata di dalam karya sastra muncul sebagai solusi atau media terbaik untuk mengembangkan dan menyampaikan apresiasi yang sebelumnya tak tersampaikan. Hanya saja, kebebasan seorang sastrawan di dalam menyampaikan ideologi yang dianutnya melalui karya-karyanya dianggap terlalu berlebihan atau lebih tepatnya seperti dipaksakan dan memojokkan pihak tertentu sehingga menimbulkan pertentangan, bahkan antar sastrawan.
Untuk pembahasan selanjutnya, pada makalah ini akan dibahas mengenai Sastra, Politik, dan Ideologi.

B. Pembahasan
1. Definisi: Sastra, Politik, dan Ideologi
Definisi sastra sampai saat ini belum memiliki definisi yang disepakati bersama secara universal. Ketika muncul definisi sastra, muncul pula definisi yang baru di tempat lain atau pun di waktu yang lain. Estetika menjadi unsur terpenting sastra, pada lingkaran estetika ini pun masih diperdebatkan oleh para ahli sastra. Secara etimologis sastra berasal dari bahasa sansekerta, kata Sas- dan –Tra yang berarti “alat mengarahkan”. Karya sastra selama ini dianggap hanya mengetengahkan atau menceritakan suatu kisah fiksi yang berasal dari pengalaman sang pengarang. Akan tetapi, tanpa mereka sadari, melalui karya sastranya, pengarang maupun pengair secara tidak langsung menyiratkan pandangan atau ideologinya.
Ideologi adalah paham, teori dan tujuan yang dimiliki individu atau konsep yang bersistem yang dijadikan sebagai landasan pendapat yang memberikan arah dan tujuan hidup (KTBI, 2008:294). Ideologi merupakan seperangkat kepercayaan, sikap, nilai, dan ide yang memberi ciri kesadaran kelompok pada suatu masa sejarah tertentu. Kemudian di dalam ESI (2004:345) menyatakan sebagai berikut.
Ideologi adalah paham, teori, atau tujuan terpadu yang merupakan satu program sosial politik. Istilah ini diciptakan oleh Destutt de Tracy (Prancis, 1976) guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifat serta hukum-hukumnya. Menurut arti yang umum ideologi menunjukkan ide-ide yang mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu. Dalam kalangan Marxis, ideologi berarti sejumlah keyakinan yang dianut oleh suatu golongan tertentu dan yang dianggap tidak perlu dibuktikan lagi, tetapi yang sebetulkan menghalalkan kepentingan golongan tertentu itu. Di sini ideologi berarti ideologi yang sedang berkuasa tetapi dalam artian yang keliru dan menyesatkan. Alam pikiran yang ditentukan oleh hubungan yang ekonomis mempergunakan sarana-sarana ideologis dan melestarikan dan meneguhkan ideologi itu. Adapun sarana-sarana itu misalnya, tata hukum, sistem pendidikan, kaidah-kaidah dalam dunia seni, norma estetik yang dianut, dan sebagainya. Citra manusia ideal yang dianut oleh Cicaro dan kaum humanis, sastra pun dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan atau mencerminkan suatu ideologi. Tetapi sebaliknya, demikian kaum Marxis, sastra dapat juga menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa. Tetapi mau tidak mau kritik ideologi juga berpangkal pada suatu ideologi tertentu.

Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi merupakan suatu paham, teori, atau seperangkat kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam memberikan arah dan tujuan hidup berdasarkan sarana-sarana ideologis.
Politik erat kaitannya dengan ideologi. Politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara; urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan negara atau terhadap negara lain; cara berpikir, taktik. Istilah politik dan ideologi tidak hanya dikenal dan digunakan di ruang lingkup pemerintahan saja, tapi di dalam sastra juga sering digunakan oleh seniman untuk menyampaikan persfektif mereka terhadap fenomena yang ada. Oleh sebab itu, kita mengenal istilah sastra politik dan ideologi, yakni bagaimana pengarang menyampaikan persfektifnya atau cara pandangannya terhadap hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan suatu negara melalui karya sastra. Jadi, tidak dipungkiri jika karya sastra yang bersifat politik dan ideologi menjadi momok yang sangat ditakuti, terutama pada rezim Orde Baru, karena secara tidak langsung sastra mampu mengungkapkan kebobrokan pemerintahan dan menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa.
Apakah sastra, politik, dan ideologi hanya berkaitan dengan sistem pemerintahan dari sudut pandang seorang sastrawan? Jawabannya adalah tidak, karena politik dan ideologi di dalam sastra tidak hanya berorientasi pada politik pemerintahan saja, tapi juga di dalam berbagai bidang. Misalnya, seorang peneliti bernama Keith Foulcher dalam penelitiannya “Pujangga Baru: Kesussastraan dan Nasionalisme di Indonesia” (1933-1942), Keith Foulcher memperlihatkan bahwa di dalam gagasan Takdir (Sultan Takdir Alisjahbana) seniman memiliki peranan sebagai pemimpin dan penunjuk jalan di dalam proses perubahan sosial (Muhammad Sobary:2009). Pendirian atau ideologi ini menimbulkan perdebatan dan penentangan dari banyak kalangan, terutama Goenawan Mohamad. Bagi Goenawan, perubahan tidak datang dari sastra dan seni, melainkan dari politik. Beliau menolak gagasan atau ideoloi Takdir, bahwa sastra bisa menjadi penggerak masyarakat. Hal ini terlalu dianggapnya sebagai banyak berharap terhadap sastra dan seni. Sehingga secara tidak langsung Goenawan menganggap Takdir membesar-besarkan peranan seniman.
Emha Ainun Najib (dalam Muhammad Sobary:2009), beranggapan bahwa Takdir dan Goenawan adalah orang-orang yang tertutupdari dialog sehat karena tak mau memahami kebenaran lain di luar diri mereka. Takdir berbicara mengenai sastra yang memiliki tanggung jawab besar, sementara Goenawan lebih membatasi sistem forma keseniannya dalam sistem nilai dan disiplin seni itu sendiri, sedangkan tanggung jawab sosial dianggap merupakan bagian dari perjuangan di luar dunia seni. Kedua tokoh ini dianggapnya hidup di dalam blok-blok pemikiran dan mahzap-bila tidak kiri, ya kanan, bila bukan Barat, ya Timur, sehingga kemandirian mereka di dalam berkesussastraan layak dipertanyakan. Bagi Emha yang tampak ialah komitmen kemanusiaan para seniman dewasa ini umumnya lebih menyempit pada diri belaka. Kita butuh sastra yang bukan Marxis dan bukan Kapitalis, melainkan sastra Indonesia yang merdeka dari dominasi siapa pun, termasuk dari dominasi panglima di bidang politik maupun kebudayaan sendiri. Berdasarkan pendapat Emha Ainun Najib tersebut dapat disimpulkan, bahwa sebuah karya sastra murni tanpa pengaruh atau dominasi apa pun dan siapa pun itu di dalam mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh seorang sastrawan.
Akan tetapi, tidak semua sastrawan dan hasil karyanya yang mencerminkan hal yang demikian. Sehingga masih adanya pendekatan dan orientasi politis di dalam teori sastra.
2. Sastra: Politik, Ideologi dan Marxisme
Sastra di beberapa negara menjadi ‘momok’ yang menakutkan bagi para penguasa. Di Rusia pada masa kejayaan Stalin, karya-karya sastra yang menyimpang dari sudut pandang penguasa dan mengganggu kekuasaan disingkirkan dari negara, akibatnya Boris Pasternak dengan karyanya yang dilarang, yakni Doctor Zhivago yang nyata nya mendapatkan penghargaan Nobel Sastra. Di Indonesia, realita seperti di Rusia tersebut dengan mudah kita temukan. Wiji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, dan beberapa sastrawan Lekra mendapatkan intimidasi dari negaranya sendiri. Selanjutnya, Pramoedya di dalam merespon tulisan Goenawan Muhamad di media Tempo menyatakan ‘geram’ atas tingkah pemerintah negaranya sendiri, padahal di Amerika buku-buku karya sastranya diwajibkan di jenjang sekolah tingkat lanjutan. Kemudian, Wiji Thukul mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari negaranya sendiri dan ironisnya karya-karya Wiji Thukul dianggap oleh akademisi negaranya sendiri merupakan karya sastra yang tidak bernilai estetika tinggi, padahal karya-karyanya di negara kincir angin mendapatkan penghargaan Werthrin Encourage Award.
Di abad ke 17 Terry Eagleton membicarakan banyaknya ruang-ruang diskusi publik terhadap sastra. Pembicaraan sastra di ruang publik akan membahas banyak hal, diantaranya pemerintahan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Dalam ruang lingkup tersebut pembahasan karya sastra cenderung serius, tapi bukan berarti bahwa keseriusan pembahasan karya sastra selalu berada di ruang akademik. Sebagai pencipta karya sastra, ideologi yang ditanamkan di kepalanya akan mengalir dalam karya sastranya. Menciptakan karya sastra seolah-olah mengarahkan atau memberikan pandangan keberadaan sekitarnya melalui ideologi yang digunakan, terlepas apapun ideologi itu. Saat ini, pandangan masyarakat terhadap ideologi selalu dikait-kaitkan dalam dunia politik kekuasaan. Akan tetapi, tidak selamanya ideologi merupakan sesuatu yang harus berada pada politik kekuasaan.
Berbagai pendekatan dengan orientasi politis di dalam teori sastra, di antara nya teori sastra marxis. Tetapi, teori ini banyak dihindari oleh para seniman pada masa Orde Baru, tapi juga ada beberapa orang seniman yang secara terang-terangan menganut paham teori ini melalui karya-karya. Beberapa di antaranya seniman-seniman yang tergabung di dalam sebuah organisasi, seperti Lekra. Teori kritik sastra marxis didasarkan pada teori politik dan ekonomi dan filsuf kebangsaan Jerman. Penerapan teori ini tidak hanya pada satu bidang kehidupan saja, tapi memandang suatu hal dari segala bidang, yakni bidang ekonomi, politik, budaya, agama, dan sejarah yang mempengaruhi kondisi-kondisi sosial (masyarakat). Dengan kata lain, melihat suatu masalah melalui sudut pandang atau persfektif interdisipliner.
Kehidupan sosial individu dipengaruhi kekuatan politik dan ekonomi. Oleh karena itu, kritik sastra marxis lebih cenderung pada tekanan-tekanan dan kontradiksi di dalam karya sastra. Hal ini sesuai, sebab marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan dan pertentangan di dalam masyarakat, antara kalangan yang tertindas oleh kalangan kelas atas.

C. Cuplikan Teks Sastra
Cuplikan teks pada bagian ini diambil dalam sebuah novel dan puisi. Di dalam cuplikan teks yang diambil dari novel tersebut, menggambarkan ideologi yang berorientasi pada pola pikir pengarang mengenai kebudayaan Minangkabau yang tertuang di dalam karya sastranya. Novel yang dipilih adalah novel Bulan Susut karya Ismet Fanany. Sedangkan cuplikan teks puisi yang dipilih adalah Bunga dan Tembok karya Widji Thukul, yang berorientasi politik pada saat masa Orde Baru.

(Bulan Susut, halaman 4—5, paragraf 1)
....
Namun, waktu dia melihat anak-anak Koto yang duduk di SMA berjalan kaki ke sekolah di Batusangkar setiap pagi memakai celana panjang, Ridwan merasa ingin seperti mereka. Hanya orang yang sudah dewasa yang boleh memakai celana panjang. Ridwan tahu dia tidak mungkin dianggap dewasa kalau belum mencapai usia tertentu atau kalau belum disunat. Teman-teman sepermainannya yang sudah beberapa tahun disunat jelas tampak oleh Ridwan memperlakukannya sebagai anak kecil sekalipun mereka seusia. Dan yang lebih menyakitkan perasaan Ridwan, dia melihat gadis-gadis kecil Koto yang sudah mulai tertarik pada lawan jenisnya tahu bahwa Ridwan belum disunat dan mereka lebih memperhatikan kawan-kawannya yang sudah disunat. Di antara teman-temannya yang sudah disunat itu. Ridwan melihat ada ‘rahasia’ yang tidak boleh diketahuinya. Dan rahasia itu, Ridwan merasa pasti, ada hubungannya dengan cewek-cewek desa itu.
....

(Bulan Susut, Bab II Sepenggalah, halaman 17—18, paragraf 2)
....
Mariani dianggap pandai membawakan diri dan mengharumkan nama keluarga dengan caranya bergaul yang sopan dan patut. Bicaranya halus dan penuh santun, dan tingkah lakunya wajar. Dia berpakaian dengan cara yang sopan, tidak pernah memakai baju lengan pendek, apalagi tidak berlengan. Dia selalu memakai kain panjang atau sarung yang menutupi betisnya dan selendangnya tidak pernah terlepas sekalipun hanya tergantung di bahunya dan tidak selalu menutupi rambutnya. Rohana, sebaliknya, seperti berasal dari keluarga yang berbeda. Bicaranya kasar dengan suara keras. Dia sering tertawa terbahak-bahak di depan siapa saja. Dia berpakaian semaunya, cabul menurut penilaian Datuak Malik, dan tingkah lakunya sembrono. Dia tidak mendengarkan nasihat atau teguran keluarga, termasuk ibunya sendiri atau Datuak Malik. Itulah yang membuat Datuak Malik marah dan membuatnya merasa berhak berlaku tidak adil itu. Datuak Malik selalu memberikan hadiah lebaran kepada saudara-saudaranya kecuali kepada Rohana. Datuak Malik, dengan kekayaannya, selalu memberikan kemudahan kepada saudara-saudaranya bila diperlukan seperti waktu melahirkan, yang memerlukan biaya banyak, atau bila ada yang sakit, tetapi dia menolak memberikan apa-apa kepada Rohana. Reaksinya yang tidak simpatik terhadap kelakukan Rohana yang dianggapnya merusak nama baik keluarga itu membuat adik perempuannya itu justru bertambah menjauhkan diri dan menjadikan tingkah lakunya semakin buruk. Pada usia muda sekali, baru 17 tahun, ketertarikannya pada lawan jenisnya yang senakin berani dan menjadi-jadi manambah satu lagi dimensi kelakuannya yang tidak disenangi dan tidak disetujui keluarga. Ini berpuncak pada kehamilannya di luar nikah itu dan perkawinan paksa yang menyusulnya. Datuak Malik tidak bisa memaafkan kelakuan yang dianggapnya tidak senonoh itu dan perasaan tidak senangnya itu berlanjut pada anak-anak Rohana ....

(Bulan Susut, Bab III Condong ke Barat, halaman 56)
....
Dia diberi banyak kekuasaan oleh Datuak Malik di surau dan di kincir. Dia lebih sering diberi segala macam oleh pamannya itu, mulai dari pakaian dan keperluan sekolah sampai uang dan kebebasan. Dia membolehkan Ridwan merokok, misalnya, tetapi tidak membolehkan Kadir dan kemenakan laki-lakinya yang lain. “Tunggu sampai kalian bisa mencari uang” begitu doktrin Datuak ....

(Bulan Susut, Bab III Condong ke Barat, halaman 65)
....
Ridwan melihat dan dalam hatinya mulai menyimpulkan bahwa larangan dan suruhan itu, baik yang dipaksakan dengan tamparan dan pukulan sekalipun, merupakan bagian dari peraturan masyarakat tak tertulis yang digunakan orang untuk keuntungan diri mereka. Sambil mereguk kenikmatannya. Dalam perjalanan hidupnya di Lembah itu, dia melihat orang setiap hari melanggar berbagai peraturan itu. Pada situasi tertentu, pada tempat-tempat dan orang-orang tertentu, pelanggaran itu dapat diterima atau dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Pengalamannya dengan Laili dan pamannya di kincir pada hari pertama ia memakai celana panjang itu membuatnya tidak ragu sedikit pun bahwa larangan boleh dikerjakan dan suruhan boleh ditinggalkan. Lebih dari itu, Ridwan belajar bahwa larangan dan suruhan itu merupakan sumber kekuasaan yang digunakan orang untuk menguasai orang lain. Orang-orang tertentu tahu apa yang dilakukan seseorang, pelanggaran apa yang dikerjakan. Kiatnya, Ridwan melihat, dia harus mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat dalam hubungannya dengan anggota masyarakat di sekelilingnya. Dia harus bisa menjadi bagian dari kelompok yang berkuasa menyuruh dan melarang. Maka larangan tadi bisa dilanggar dan suruhan dapat ditinggal.
Kehidupan di Lembah dan di Koto, Ridwan tahu, diatur oleh hubungan antarmanusia penghuninya. Dia sebagai individu tidak ada nilainya. Bentuk hubungan di antara dia dan yang lain merupakan faktor penentu satu-satunya apa yang boleh dia lakukan dan apa yang dapat dia langgar. Semua penghuni Lembah dan Koto saling merebut posisi sosial yang memungkinkan mereka berlaku seperti yang mereka inginkan kepada penghuni lainnya. Semakin tinggi posisi seseorang semakin banyak larangan yang boleh ia lakukan dan suruhan yang dapat ia tinggalkan. Orang pada posisi paling tinggi melakukan pa saja. Tanpa risiko, tanpa sanksi ....

(Bulan Susut, Bab IV Terbenam, halaman 112--113)
....
Masyarakat Koto, dan masyarakat luar Koto yang dikenalnya kini, bersaing dengan kejam. Diri seseorang sebagai manusia tidak dihargai dalam persaingan itu. Yang berharga hanyalah definisi hubungannya dengan orang-orang sekelilingnya, orang-orang yang bersaing dengannya dalam mengejar tujuan hidup itu. Yang kuat menghancurkan yang lemah. Yang besar menggusur yang kecil. Yang keras melumatkan yang lunak. Yang tajam mencencang yang tumpul. Yang tinggi menginjak yang rendah. Orang Koto percaya bahwa untuk mendapatkan yang diinginkan, untuk memakmurkan diri, mereka harus mementingkan diri sendiri. Bukanlah pandangan orang Koto bahwa cara terbaik untuk memakmurkan diri adalah dengan memakmurkan masyarakat atau dengan bekerja sama mencapai tujuan itu sekalipun tujuan akhir mereka pada dasarnya sama. Bukanlah falsafah hidup orang Koto bahwa orang lain itu sama pentingnya dengan diri sendiri. Menolong orang lain, dalam pandangan orang Koto, tidak berarti menolong diri sendiri. Menurut orang Koto, ke bukit biarlah orang lain mendaki asal kita menurun; yang berat biarlah orang lain yang memikul, dan yang ringan kita yang menjinjing. Falsafah orang Koto adalah bahwa, untuk mencapai maksud sendiri, kalau perlu orang lain dikorbankan, dihancurkan, digusur, dilumatkan, dicencang, dan diinjak.
....

(Bulan Susut, Bab IV Terbenam, halaman 117—118)
....
Dan Koto juga melihat Ridwan dengan cara yang berbeda. Dia sudah dewasa kini. Seperti diduganya, pakaian hijaunya itu langsung menempatkannya di jenjang atas tatanan masyarakat Koto. Ridwan lega melihat betapa benarnya Laili yang dulu mengatakan bahwa meninggalkan Koto adalah yang terbaik buatnya. Hanya dengan begitu orang Koto akan melupakan apa yang terjadi, apa yang ia lakukan. Dan dengan pakaian seragamnya, bukan saja orang akan melupakan masa lalunya, mereka juga memberi Ridwan tempat istimewa, hak istimewa, dan kebebasan berbuat yang tidak dimiliki kawan-kawan masa kanak-kanannya, termasuk Kadir.
....

Bunga dan Tembok
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang!

D. Analisis Singkat
Dalam novel Bulan Susut ini, menceritakan bagaimana seorang kemenakan yang selama ini diperhatikan, disayangi, dan dipercayai oleh pamannya sebagai ‘mata Datuak’ di dalam segala hal, terutama di dalam hal mengatur usaha-usaha milik pamannya. Ridwan, sebagai kemenakan sang Datuak Malik memiliki nilai lebih di mata Datuak, sehingga untuk Ridwan apapun boleh dan bebas untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk merokok sekalipun. Sedangkan pada kemenakannya yang lain, Datuak tidak bersikap adil, karena mengingat dan menimbang masa lalu yang dilakukan oleh orang tua kemenakannya (saudari Datuak) yang memberikan aib kepada keluarga besar mereka yang sangat terpandang di daerah tersebut dan Datuak merasa sikap ‘tidak adil’nya itu pantas didapatkan oleh mereka yang mempermalukan keluarga (baca cuplikan teks II Sepenggalah).
Selanjutnya, di daerah tempat Ridwan lahir dan dibesarkan, Lembah dan Koto, terdapat semacam aturan atau tradisi tak tertulis di dalam masyarakat yang selama ini diemban oleh pamannya yang dianggap sebagai pemimpin desa. Aturan-aturan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan tersebut, apabila dilanggar akan mendapatkan hukuman, tapi dalam hal ini rupanya terdapat ketidakseimbangan di dalam penerapan aturan tersebut. Hanya orang-orang yang tidak memiliki posisi sosial yang penting di masyarakat yang tidak dapat lolos di dalam menerima aturan dan hukuman tersebut, sedangkan bagi orang-orang yang memiliki kuasa atau orang-orang yang memiliki hubungan dengan orang yang memiliki kuasa dapat lolos dari aturan dan hukuman tersebut. Hal ini terbukti ketika perbuatan mesum Ridwan dengan Laili yang untuk pertama kalinya diketahui secara tidak sengaja oleh pamannya, sang Datuak hanya berpesan agar tidak mengulanginya lagi dan jangan sampai ketahuan oleh orang banyak.
Sungguh hal yang aneh mengingat Datuak Malik merupakan orang yang sangat disegani di daerah tersebut, tapi membiarkan perbuatan yang telah melanggar aturan yang dilakukan oleh kemenakan kesayangannya, sedangkan jika perbuatan tersebut dilakukan oleh Kadir salah seorang kemenakannya, dia tidak peduli dan menghukumnya dengan hukuman fisik. Akan tetapi, dibalik semua itu terdapat “rahasia” terbesar Datuak yang menjadi alasan sebenarnya mengapa dia tidak menghukum Ridwan atas perbuatan mesumnya. Ternyata, Datuak memiliki hubungan yang tidak lazim dengan Laili dan sebagai seorang yang amat disegani di desanya, hal ini akan sangat memalukan jika diketahui oleh banyak orang.
Ismet Fanany di dalam novelnya Bulan Susut, menggambarkan masyarakat di Lembah dan Koto tersebut selama ini memiliki jalan pikiran yang sangat tidak manusiawi di dalam hidup bermasyarakat. Mereka yang ada di daerah tersebut saling bersaing dan tidak segan-segan bersikap kejam terhadap sesamanya dalam usaha meraih posisi sosial yang tinggi. Menurut mereka, dengan meraih posisi sosial yang tinggi, mereka akan disegani dan dihormati oleh banyak orang, meskipun ketika melakukan kesalahan dengan melanggar aturan yang ada mereka tidak takut akan dipersalahkan, karena tidak akan ada yang berani untuk menegur, menyalahkan, atau menghukum mereka. Sehingga, mereka memiliki prinsip atau falsafah hidup “Orang Koto percaya bahwa untuk mendapatkan yang diinginkan, untuk memakmurkan diri, mereka harus mementingkan diri sendiri. Bukanlah pandangan orang Koto bahwa cara terbaik untuk memakmurkan diri adalah dengan memakmurkan masyarakat atau dengan bekerja sama mencapai tujuan itu sekalipun tujuan akhir mereka pada dasarnya sama. Bukanlah falsafah hidup orang Koto bahwa orang lain itu sama pentingnya dengan diri sendiri. Menolong orang lain, dalam pandangan orang Koto, tidak berarti menolong diri sendiri. Menurut orang Koto, ke bukit biarlah orang lain mendaki asal kita menurun; yang berat biarlah orang lain yang memikul, dan yang ringan kita yang menjinjing. Falsafah orang Koto adalah bahwa, untuk mencapai maksud sendiri, kalau perlu orang lain dikorbankan, dihancurkan, digusur, dilumatkan, dicencang, dan diinjak” (baca cuplikan teks Bab IV Terbenam, halaman 112).
Berdasarkan beberapa cuplikan teks novel Bulan susut yang terdiri dari empat bab ini dan analisis singkat teks, dapat disimpulkan bahwa Ismet Fanany memiliki pandangan atau ideologi mengenai masyarakat minang dan budayanya yang cenderung menekan dan merugikan. Hal ini terlihat pada paragraf-paragraf di dalam novelnya, misalnya pada halaman 112, paragraf kedua.
Selanjutnya, pada puisi Bunga dan Tembok karya Widji Thukul, lebih menekankan atau lebih tepatnya berorientasi pada perkembangan politik di Indonesia, pada masa Orde Baru. Thukul menggunakan kiasan “tembok” untuk penguasa dan “bunga” untuk rakyat yang dirampas tanah dan rumahnya dalam puisi Bunga dan Tembok tersebut. Sikap dan ideologi Thukul terhadap tirani jelas tergambar pada kata harus tumbang!.

E. Kesimpulan
Sastra membawa muatan dan menawarkan kepada kita suatu corak ideologi atau paham, misalnya paham kebangsaan, yang perlahan-lahan tumbuh dalam kesadaran kita setelah sebuah karya sastra bisa betul-betul dibaca oleh banyak kalangan dan memberi mereka inspirasi. Apapun maknanya, paham kebangsaan itu kita tangkap, merasuk ke dalam diri, dan melekat menjadi bagian dari hidup kita. Ia menjadi “api” yang menyala, terutama pada zaman yang sedang bergolak ini.
Ideologi merupakan suatu paham, teori, atau seperangkat kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam memberikan arah dan tujuan hidup. Sedangkan, Politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara atau cara berpikir, taktik. Berdasarkan pengertian ini, orang akan berpikir bahwa istilah ideologi dan politik hanya ada di ruang lingkup pemerintahan saja. Tetapi, sebenarnya istilah politik dan ideologi di dalam sastra juga sering digunakan oleh seniman untuk menyampaikan persfektif atau pandangan mereka terhadap fenomena atau peristiwa di dalam pemerintahan yang disampaikan melalui karya sastra mereka dalam bentuk tulisan dan sebagian dari mereka (seniman) menggunakan pendekatan teori marxis di dalam tulisannya
Kritik sastra Marxis lebih cenderung pada tekanan-tekanan dan kontradiksi di dalam karya sastra. Hal Ini sesuai, sebab marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan dan pertentangan di dalam masyarakat. Kritik sastra marxis juga memandang literatur sangat dekat terhubung dengan kekuatan sosial dan analisa mereka atas literatur yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sosial paling besar. Jadi, tidak dipungkiri jika karya sastra yang mengetengahkan politik dan ideologi, menjadi momok yang sangat ditakuti, terutama pada rezim Orde Baru, karena secara tidak langsung sastra mampu mengungkapkan kebobrokan pemerintahan dan menelanjangi ideologi pemerintah yang sedang berkuasa. Sehingga, tidak semua sastrawan yang berani menggunakan teori ini. Akan tetapi, tidak semua ideologi yang ada pada pemikiran seorang sastrawan yang berorientasi pada bidang politik pemerintahan, karena setiap sastrawan merupakan individu yang memiliki persfektif atau pandangan masing-masing.
Daftar Pustaka

Afif, Hamid. 2008. Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra. (http://www.kaweki.com/cetak.php?id=17). Download tanggal 22/05/09.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedia Sastra Indonesia: Edisi Ketiga. Bandung: Titian Ilmu.

Ismet, Fanany. 2005. Bulan Susut. Jakarta: Buku Kompas.

Tim Reality. 2008. Kamus Terbaru Bahasa Indonesia. Surabaya: Reality Publisher.

Sobary, Mohammad. 2009. Sastra, Ideologi, dan dunia Nilai. (http://www.sastra-indonesia.com/2009/04/sastra-ideologi-dan-dunia-nilai/). Download tanggal 22/05/09.
READ MORE - Sastra, Politik, dan Ideologi

Selasa, 02 November 2010

Penggunaan Bahasa dalam Representasi Ideologi pada Teks Berita tentang RUU Pornografi


Dalam penyajian berita, penulis berita dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dalam menyajikan peristiwa yang diberitakan. Oleh karena itu, penulis berita cenderung tidak netral dalam membuat berita. Akibatnya, masyarakat menjadi bingung sehingga terjadi kesalahan dalam memaknai sebuah berita. Sebagian pembaca hanya terfokus membaca materi-materi yang ada di dalam teks berita tanpa memahami lebih jauh maksud atau makna yang tersebunyi di dalam berita tersebut. Untuk mengetahui dan memahami maksud atau makna yang tersembunyi di balik teks-teks berita tersebut, perlu dilakukan analisis wacana kritis.
Selanjutnya, pemahaman dasar analisis wacana kritis adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa atau dipandang di dalam pengertian linguistik tradisional, tetapi bahasa di dalam analisis wacana kritis dipahami sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi. Analisis wacana yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari seseorang yang mengemukakan suatu pernyataan ketika menanggapi suatu topik pemberitaan.
Sebelum maupun sesudah penetapan, RUU Pornografi selalu menimbulkan pro dan kontra antarberbagai pihak. Budayawan dan cendikiawan Bali menyatakan penolakan mereka terhadap penetapan RUU Pornografi melalui pertemuan yang diadakan Komponen Rakyat Bali (KRB) di Denpasar, hari Sabtu, tanggal 13 September 2008. Selanjutnya, DPRD Sulawesi Utara juga menyatakan menolak RUU Pornografi yang pada saat itu berada dalam tahap pembahasan, karena dinilai tidak merangkul aspirasi daerah. Sedangkan, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), mendesak pemerintah dan parlemen mengesahkan RUU Pornografi untuk menjadi ketentuan hukum di tanah air.
Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana kritis untuk menganalisis atau meneliti suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Model analisis tersebut mengenai bagaimana suatu kelompok atau individu secara dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus-menerus dijadikan sebagai objek pemaknaan dan digambarkan secara tidak baik (Eriyanto, 2001:171). Misalnya, kelompok buruh, petani, nelayan, imigran gelap, dan wanita adalah aktor atau kelompok yang bukan secara riil tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, tetapi di dalam wacana pemberitaan sering digambarkan secara tidak baik, tidak berpendidikan, mengganggu ketentraman, dan kenyamanan serta sering bertindak anarkis.
 Dalam hal ini, terdapat kaitan antara wacana dan kekuasaan. Maksudnya, kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui jalur-jalur formal, hukum, dan institusi negara dengan kekuasaannya untuk melarang dan menghukum, tetapi juga beroperasi melalui serangkaian wacana untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok sebagai pihak yang tidak baik.
Analisis model van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan pelaku (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan di dalam pemberitaan dengan dua pusat perhatian (Eriyanto, 2001:172--173). Pertama, eksklusi (exclusion), yakni apakah di dalam suatu teks berita ada kelompok atau pelaku yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang dipakai di dalam proses exclusion atau eksklusi tersebut. Proses ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu strategi wacani ini menggunakan tiga kategori, yakni pasivasi, nominalisasi, dan penggantian anak kalimat. Kedua, inklusi (inclusion), yakni suatu proses yang berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan melalui pemberitaan. Strategi wacana ini menggunakan tujuh kategori, yakni deferensiasi-indeferensiasi, objektivasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-individualisasi, dan asosiasi-disosiasi. Baik proses eksklusi maupun inklusi tersebut menggunakan apa yang disebut dengan strategi wacana. Dengan menggunakan kata, kalimat, informasi, atau susunan bentuk kalimat tertentu, strategi bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks.
Pertama, penggunaan kalimat pasif (pasivasi). Penggunaan kategori ini dalam sebuah pemberitaan pada dasarnya bertujuan untuk menyamarkan atau sengaja tidak menyebutkan pelaku atau kelompok sosial tertentu dalam suatu pembicaraan atau wacana (Eriyanto, 2006:173). Penggunaan kategori pasivasi tersebut dilakukan untuk melindungi pelaku atau kelompok sosial yang seharusnya dilibatkan atau disebutkan dalam pemberitaan. Misalnya, pada kutipan teks berita berikut ini.
Penerbit Playboy Indonesia terus diburu. DPR juga tidak mau ketinggalan. Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama akan memanggil penerbit majalah itu. Penerbit diminta membatalkan rencananya menerbitkan Playboy edisi Indonesia.
Kutipan teks berita tersebut dikutip dari teks berita yang berjudul DPR Panggil Penerbit Playboy yang diterbitkan secara online melalui situs www.detik.com edisi Kamis, 19 Januari 2006. Penggunaan kategori pasivasi ditandai dengan penggunaan kata diburu pada kalimat pertama pada teks berita. Kata diburu pada kalimat tersebut menyembunyikan atau tidak melibatkan pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan. Penulis berita tidak ingin melibatkan siapa saja pihak yang pada saat itu memburu penerbit majalah Playboy.
 Selain itu, tujuan penulis berita dengan tidak menyebutkan pelaku lain dalam pemberitaannya bertujuan agar khalayak pembaca lebih terfokus pada topik pemberitaan yakni pro dan kontra rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. Pada penggunaan kategori pasivasi, penulis berita lebih mementingkan sasaran (predikat) yang menjadi pemberitaan (penerbit Playboy) daripada pelaku sosialnya (Eriyanto, 2006:174). Dapat disimpulkan, melalui kategori pasivasi sebuah kalimat dapat berdiri sendiri tanpa membutuhkan kehadiran pelaku.
Melalui penggunaan kategori pasivasi, sebuah kalimat dapat berdiri sendiri tanpa membutuhkan pelaku (subjek). Namun, apabila prefiks di- pada kata buru diganti prefiks me- menjadi memburu maka kalimat pada teks berita tersebut merupakan kalimat aktif. Sebuah kalimat aktif tidak lengkap tanpa adanya sasaran (predikat), sehingga membutuhkan pelaku (subjek) untuk melengkapi kalimat tersebut. Jika tidak, makna yang ingin disampaikan melalui kalimat tersebut menjadi rancu dan sulit untuk dipahami.
Kedua, strategi wacana eksklusi dilakukan melalui penggunaan kategori nominalisasi yakni suatu proses yang mengubah kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina) dengan memberikan imbuhan “pe-an” atau “ke-an” (Eriyanto, 2006:175). Berikut ini kutipan teks berita yang menggunakan strategi wacana eksklusi dalam kategori nominalisasi.
Balkan menjelaskan, penghilangan kata 'anti' merupakan kesepakatan dari 10 fraksi yang diusulkan oleh salah satu fraksi.
Judul dari kutipan atau penggalan teks berita tersebut adalah RUU APP Jadi RUU Pornograf , diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Rabu, 24 Januari 2007 secara online. Secara umum, teks berita tersebut memberitakan perubahan nama RUU APP menjadi RUU Pornografi yang telah disepakati oleh Tim Perumus RUU APP. Kata anti dan pornoaksi dihilangkan berdasarkan kesepakatan sepuluh fraksi yang menghadiri rapat Pansus, namun pada teks berita tidak disebutkan secara jelas dari fraksi mana saja.
Penggunaan nominalisasi dilakukan dengan memberi imbuhan “pe-an” atau “ke-an.” Melalui penggunaan imbuhan tersebut, pelaku yang seharusnya menjadi subjek yang melakukan atau menyepakati sesuatu bisa disamarkan dalam struktur kalimat ketika kata kerja diubah ke dalam bentuk kata benda dengan memberi imbuhan “ke-an”. Apabila kata kesepakatan diubah menjadi sepakat, maka pada kalimat tersebut membutuhkan subjek atau pelaku yang melakukan tindakan. Penulis berita harus menyebutkan sepuluh fraksi yang menyetujui adanya perubahan pada RUU APP. Jadi dapat disimpulkan, nominalisasi tidak membutuhkan pelaku, karena nominalisasi pada dasarnya adalah proses mengubah kata kerja yang bermakna tindakan atau kegiatan menjadi kata benda yang bermakna peristiwa.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan sikap hati-hati Balkan untuk menghindari masalah dari sepuluh fraksi yang melakukan kesepakatan adanya perubahan pada RUU APP dengan cara tidak menyebutkan dari fraksi mana saja yang terlibat. Sikap hati-hati Balkan bertujuan untuk melindungi image atau citra sepuluh fraksi yang terlibat. Dapat disimpulkan, ideologi yang ingin disampaikan melalui teks berita tersebut adalah seorang pimpinan memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Balkan sebagai seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk melindungi hak dan kewajiban anggota-anggotanya dalam menyatakan pendapat.
Ketiga, kategori terakhir dalam strategi wacana eksklusi adalah kategori penggantian anak kalimat. Kategori penggantian anak kalimat merupakan pengganti pelaku sehingga yang muncul adalah alasan pelaku mengambil suatu tindakan, sementara pelaku sendiri menjadi tidak tampak dalam wacana.  Judul teks berita dari kutipan teks berikut ini adalah Ayu Luncurkan Sidang “Susila”di DPR yang diterbitkan secara online oleh situs www.kompas.com edisi Selasa, 08 April 2008.
Merespons pembahasan RUU Pornografi (sebelumnya bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi), Ayu meluncurkan sebuah buku berjudul Sidang Susila: Naskah Komedi dan Catatan Perihal RUU Pornografi.
Kutipan teks berita tersebut menggunakan strategi wacana eksklusi dalam kategori penggantian anak kalimat. Kalimat pertama atau proposisi pertama berfungsi sebagai alasan mengapa Ayu (sebagai pelaku sosial kedua/anak kalimat) melakukan tindakan, yakni dengan meluncurkan sebuah buku sebagai respons penolakan terhadap RUU APP yang hendak ditetapkan oleh DPR (sebagai pelaku sosial pertama). Selanjutnya, kalimat kedua atau proposisi kedua ditambahkan untuk menjawab pertanyaan apa usaha yang dilakukan oleh Ayu Utami dalam merespons RUU APP yang sedang dibahas di DPR.
Penggunaan kategori wacana tersebut pada teks berita di atas hanya bertujuan untuk melindungi pelaku dengan tidak melibatkannya dalam pemberitaan. Namun, bukan berarti masyarakat sebagai khalayak pembaca tidak mengetahui siapa yang dimaksudkan oleh penulis berita dalam pemberitaan yang ditulisnya. Walaupun strategi ini menyamarkan pelaku sosial dalam pemberitaannya, tetap tidak mengubah maksud yang ingin disampaikan oleh penulis berita mengenai penolakan atas RUU APP oleh penyusun RUU tersebut (pemerintah/DPR).
Penggunaan tiga kategori tersebut bertujuan untuk menyamarkan atau tidak menyebutkan sama sekali pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan, karena strategi wacana eksklusi lebih mementingkan sasaran pemberitaan daripada pelaku. Dengan kata lain, suatu kalimat dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran pelaku. Namun, penggunaan strategi wacana eksklusi ini tidak selalu digunakan dalam pemberitaan mengenai RUU Pornografi karena sebagian penulis berita lebih memilih atau cenderung terbuka menampilkan peristiwa, pelaku, maupun kelompok sosial yang menjadi pelaku dalam pemberitaannya. Salah satu alasan penulis berita menggunakan bahasa melalui strategi wacana ini, karena khalayak pembaca dianggap sudah mengetahui pelaku atau kelompok sosial mana yang dimaksudkan dalam pemberitaan. Selain itu, alasan penulis berita menggunakan strategi ini adalah untuk efesiensi kata.
Jika strategi wacana eksklusi berusaha menyamarkan atau tidak menyebutkan pelaku atau kelompok sosial lain dalam pemberitaannya, strategi wacana inklusi justru sebaliknya. Strategi wacana inklusi menyebutkan pelaku atau kelompok sosial lain dalam pemberitaannya dengan tujuan untuk dimarjinalkan atau dipojokkan pelaku tersebut. Penggunaan strategi wacana ini meliputi tujuh macam cara yaitu, diferensiasi-indiferensiasi, objektivasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-individualisasi, dan asosiasi-disasosiasi.
Pertama, penggunaan strategi inklusi dalam kategori diferensiasi-indiferensiasi. Penggunaan kategori ini oleh penulis berita adalah untuk merepresentasikan perbedaan sikap antara dua belah pihak atau dengan kata lain untuk memperlihatkan siapa yang baik dan siapa yang jahat dalam sebuah pemberitaan atau menampilkannya secara mandiri tanpa melibatkan pihak lain (Eriyanto, 2006:179). Perbedaan sikap tersebut diungkapkan melalui penggunaan dua proposisi. Penggunaan dua proposisi pada kategori diferensiasi ini biasanya dimaksudkan untuk membedakan sikap antara dua pelaku atau kelompok sosial. Hal tersebut dilakukan untuk memarjinalkan satu di antara pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan. Penggunaan kategori tersebut dapat dilihat pada kutipan teks berita berikut ini. Judul berita pada kutipan tesk berita adalah Belum Ada UU, Pemerintah Cuma Bisa Tegur Aksi Pornografi yang diterbitkan melalui media online www.detik.com edisi Kamis, 01 Desember 2005.
Siapa yang tidak geram dengan maraknya aksi pornografi di masyarakat. Tapi sayangnya, saat ini pemerintah hanya menegur terhadap tayangan atau media yang berbau pornografi di masyarakat.
 Teks berita tersebut, secara umum merepresentasikan dukungan MUI (Majelis Ulama Indonesia) terhadap rencana pengesahan RUU Pornografi oleh pemerintah. Dalam teks berita tersebut, diidentifikasikan penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori diferensiasi. Kutipan teks berita menampilkan secara kontras peristiwa dan pelaku sosial atau kelompok lain dalam sebuah teks melalui penggunaan dua proposisi. Pada proposisi pertama, memperlihatkan sikap tidak senang MUI terhadap pihak stasiun televisi swasta yang dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus penyebaran pornografi dan pornoaksi melalui tayangan-tayangan yang menurut mereka berbau pornografi dan pornoaksi. Selanjutnya, pada proposisi kedua memperlihatkan sikap pemerintah sebagai pelaku sosial kedua yang dinilai lamban dalam menanggapi kasus penyebaran pornografi dan pornoaksi dan sikap lamban tersebut dinilai memicu perkembangan penyebaran kasus tersebut di Indonesia.
Pada teks berita tersebut, posisi pemerintah (DPR) dimarjinalkan dengan menampilkan seakan-akan tidak serius dalam menanggapi kasus penyebaran pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Dikatakan dimarjinalkan, teks berita tersebut memisahkan atau membedakan sedemikian rupa proposisi pertama (sikap MUI dalam menanggapi kasus penyebaran pornografi) yang dianggap sebagai akibat proposisi kedua (pihak pemerintah/DPR yang dinilai lamban sehingga menambah persentase penyebaran pornografi dan pornoaksi di Indonesia).
Selain penggunaan dua proposisi dalam menampilkan pelaku dalam pemberitaan, strategi wacana inklusi dalam teks berita RUU Pornografi juga dilakukan dengan menggunakan kalimat pasif  untuk   menampilkan peristiwa, pelaku, atau kelompok sosial dalam sebuah teks secara mandiri (indiferensiasi) tanpa menghubungkannya dengan peristiwa lain atau tanpa menghadirkan pelaku dan kelompok sosial lain dengan maksud untuk membandingkan. Penggunaan kategori indiferensiasi dapat dilihat pada kutipan teks berita berikut ini. Kutipan teks berita di bawah ini berjudul Tidak Ada Kesepakatan RUU APP Selesai Bulan Juni oleh www.detik.com edisi Kamis, 23 Maret 2006.
DPR masih terus membahas RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP).
Teks berita tersebut secara umum, merepresentasikan kegiatan anggota DPR RI dalam menyelesaikan RUU Pornografi agar dapat segera dapat disahkan menjadi UU. Pada kutipan teks berita tersebut, DPR RI sebagai pelaku atau kelompok sosial dalam teks berita ditampilkan secara mandiri tanpa kehadiran pihak lain. Peristiwa yang ditampilkan juga ditampilkan secara mandiri tanpa dihubungkan atau dikaitkan dengan peristiwa lain dalam teks berita.
Selanjutnya, secara ideologis teks berita tersebut merepresentasikan usaha yang dilakukan oleh anggota DPR RI dalam menyelesaikan RUU Pornografi agar segera disahkan demi memenuhi tuntutan berbagai pihak selama ini juga RUU lainnya. Hal ini merepresentasikan, bahwa DPR RI tidak ingin mengabaikan tugasnya sebagai pengemban amanat rakyat dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya.
Kedua, penggunaan kategori objektivasi-abstraksi. Kategori ini berhubungan dengan informasi mengenai suatu peristiwa atau pelaku sosial yang ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret (objektivasi) atau sebaliknya tidak jelas (abstraksi). Perhatikan dua kutipan teks berita berikut ini.
Dalam waktu yang hampir bersamaan juga datang masa dari Forum Bersama Tolak Pornografi dan Pornoaksi. Sebelumnya sudah hadir massa dari Komite Perjuangan Rakyat. Para pengunjuk rasa dari berbagai elemen yang berjumlah sekitar 500 orang, dengan tuntutan masing-masing, kini memenuhi ruas jalan di depan Gedung DPR/MPR.
Judul berita dari kutipan teks berita di atas adalah Usung Beragam Tuntutan, Ratusan Orang Demo di DPR yang di update secara online melalui situs www.detik.com edisi Jumat, 01 Oktober 2004. Kutipan teks berita di atas menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori objektivasi. Dalam teks tersebut, secara umum merepresentasikan keinginan para pendemo dari berbagai elemen, dari Forum Bersama Tolak Pornografi dan Pornoaksi, yang merupakan gabungan KAMMI, KAPMI, Forum Silaturahmi Masjid Perkantoran Jakarta, menuntut DPR segera mengesahkan RUU Antipornografi dan Antipornoaksi (saat ini telah diganti menjadi UU Pornografi) menjadi UU.
Penggunaan strategi wacana inklusi kategori objektivasi bertujuan untuk memberikan informasi kepada khalayak pembaca mengenai suatu peristiwa secara jelas dan konkret. Hal tersebut tampak pada kalimat Para pengunjuk rasa dari berbagai elemen yang berjumlah sekitar 500 orang, dengan tuntutan masing-masing …. Pada kalimat tersebut menunjukkan secara jelas berapa jumlah demonstran yang tergabung dari berbagai elemen. Dalam hal ini, penulis berita memiliki informasi, data, dan fakta yang mendukung untuk menuliskan berita tersebut secara jelas kepada masyarakat. Dapat disimpulkan, melalui penggunaan kategori objektivasi khalayak pembaca dapat mengetahui informasi secara jelas dan tepat.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan jika selama ini pemerintah dan DPR dinilai tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya sehingga kepentingan rakyat terabaikan. Hal tersebut terbukti dengan belum disahkannya RUU Pornografi dan pembahasannya dinilai lamban dan belum jelas kapan akan segera ditetapkan sebagai UU karena tidak adanya ketegasan dari pemerintah dan DPR. Secara tersamar, teks berita tersebut memarjinalkan posisi anggota DPR walaupun pihak mahasiswa menyetujui adanya RUU APP.
Ia mencontohkan di negara-negara yang jauh lebih liberal dari Indonesia penyebaran material berbau pornografi dapat dibatasi. Tetapi, di Indonesia barang-barang tersebut malah dengan mudah dapat diperoleh bahkan oleh anak kecil. "Ini karena hukum yang ada belum dilaksanakan padahal penyebaran barang pornografi di KUHP sudah ada hukumnya,"katanya
Judul kutipan teks berita tersebut adalah Kekang Kebebasan Berekspresi, JIL Tolak RUU APP oleh situs www.detik.com edisi Selasa, 25 April 2006. Kutipan teks berita tersebut menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori abstraksi. Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap RUU APP yang dilakukan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal). JIL menilai RUU APP akan mengancam kebebasan berekspresi dan berkarya bagi berbagai pihak.
Penggalan teks berita tersebut menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori abstraksi. Ia mencontohkan di negara-negara yang jauh lebih liberal dari Indonesia penyebaran material berbau pornografi dapat dibatasi …, pada kalimat tersebut strategi abstraksi terlihat pada kata ulang negara-negara. Dalam hal ini, pelaku sosial yang memberikan pernyataan tersebut tidak secara jelas menyebutkan negara mana saja kah yang jauh lebih liberal dari Indonesia dalam menyikapi penyebaran pornografi. Penggunaan kata ulang negara-negara bertujuan untuk menyatakan, bahwa banyak negara liberal yang mampu mengatasi penyebaran kasus pornografi dan pornoaksi di wilayahnya tanpa harus membatasi kreatifitas seseorang. Namun, tetap saja tidak memberikan keterangan atau informasi yang jelas negara mana yang dimaksudkan. Kemungkinan hal tersebut disebabkan ketidakpastian dari pelaku sosial untuk menyebutkan negara mana yang dimaksudkan, mengingat banyak negara yang ada di dunia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda dalam menyikapi pornografi. Selain itu, penggunaan kategori abstraksi sebenarnya dapat membantu atau melindungi penulis berita jika mereka tidak mengetahui secara pasti tentang suatu pemberitaan. Untuk menghindari kesalahan karena kurangnya informasi, penulis berita memilih menggunakan pilihan kata yang menggambarkan sesuatu dalam jumlah yang besar.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap RUU APP karena tidak memberikan batasan yang jelas, mengambang, terlalu luas cakupannya, dan dinilai mengancam kebebasan berekspresi terhadap berbagai pihak sehinggga kembali menuai penolakan. Walaupun nantinya RUU tersebut disahkan oleh pemerintah, tidak akan memberi jaminan jika penyebaran pornografi dapat dihentikan. Dalam hal ini, kuncinya adalah penegakan hukum dan bukan di RUU APP karena penegakan hukum mengenai pornografi sudah ada dalam KUHP.
Ketiga, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori nominasi-kategorisasi.        Kategori nominasi-kategorisasi merupakan pilihan untuk menampilkan pelaku apa adanya atau justru menampilkannya berdasarkan kategori-kategori berupa ciri penting seperti, agama, status, bentuk fisik dan sebagainya. Perhatikan penggalan kalimat dari teks berita berikut ini.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring berencana melakukan orasi beberapa menit lewat corong Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menolak pornografi, pornoaksi, dan rencana penerbitan Playboy.
Teks berita tersebut berjudul Presiden PKS Berencana Orasi di Corong RRI Tolak Playboy yang diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Senin, 30 Januari 2006. Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap pornografi dan pornoaksi dan rencana penerbitan majalah Playboy di Indonesia serta menyetujui RUU APP oleh ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring dengan melakukan orasi melalui RRI. Strategi nominasi-kategorisasi yang terlihat pada penggalan paragraf berita tersebut adalah Tifatul Sembiring sebagai pelaku sosial tidak ditampilkan apa adanya. Dalam hal ini, penulis berita menambahkan kategori pada pelaku sosial (Tifatul Sembiring). Kategori yang ditambahkan adalah status Tifatul Sembiring sebagai ketua PKS, walaupun sebenarnya penambahan kategori tersebut tidak terlalu penting karena umumnya tidak akan mempengaruhi maksud yang ingin disampaikan kepada khalayak pembaca.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan sikap tegas dari FPKS yang menolak pornografi dan penerbitan majalah Playboy di Indonesia dan menyetujui RUU APP segera ditetapkan menjadi UU dengan melakukan orasi dan aksi demo di jalan. Selain itu, teks berita tersebut memperlihatkan lambannya kerja pemerintah dalam penetapan RUU APP sehingga tuntutan dari berbagai pihak untuk segera menuntaskan RUU terus bermunculan. Hal tersebut tampak pada penggunaan kata segera menuntaskan pada teks. Pemerintah juga dinilai tidak tegas dalam menyikapi kontroversi majalah Playboy yang menimbulkan reaksi penolakan yang cukup keras, sehingga pemerintah dituntut untuk mencabut izin penerbitan majalah yang dinilai berbau pornografi tersebut. Dalam teks berita tersebut pemerintah beserta aparaturnya kembali dimarjinalkan.
Keempat, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori nominasi-identifikasi. Nominasi-identifikasi merupakan kategori strategi wacana inklusi yang hampir sama dengan kategorisasi, hanya saja dalam identifikasi proses pendefinisian pelaku, kelompok, atau suatu peristiwa dilakukan dengan memberikan anak kalimat sebagai penjelas dan secara umum dihubungkan dengan kata: yang atau di mana. Perhatikan penggalan kalimat dari teks berita berikut ini.
Selain kasus Ba'asyir, peserta kongres juga mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Pornografi dan Pornoaksi yang selama ini masih mengambang
Judul berita pada penggalan teks berita berikut ini adalah KUII IV Desak Pemerintah Membebaskan Abu Bakar Ba’asyir yang diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Senin, 18 April 2005. Penggunaan strategi inklusi dalam kategori nominasi-identifikasi yang ditandai dengan kata yang. Kata yang tersebut berperan sebagai keterangan dalam menjelaskan kalimat proposisi pertama yakni menjelaskan mengapa sampai saat RUU APP tidak juga disahkan oleh pemerintah. 
Secara ideologis, penulis berita ingin merepresentasikan sikap tidak puas peserta kongres yang merasa tidak diperlakukan adil oleh pemerintah. pemerintah dianggap tidak memberikan hal untuk diperlakukan secara adil terhadap organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh peserta KUII terhadap proses hukum Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Selain itu, peserta kongres juga menilai pemerintah lamban dalam proses pengesahan RUU Pornografi.
Kelima, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori determinasi-indeterminasi. Determinasi merupakan strategi wacana yang menampilkan peristiwa, pelaku, atau kelompok sosial dengan tidak disebutkan secara tidak jelas (anonim) (Eriyanto, 2006:186). Penulis berita belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menulis atau karena ada ketakutan struktural dan jika identitas dari seorang pelaku sosial disebutkan secara jelas dalam teks akan menimbulkan masalah bagi bagi penulis berita tersebut. Penggunaan strategi ini secara tidak langsung membantu atau berusaha melindungi penulis berita. Perhatikan kutipan teks berita berikut ini.
"Banyak media massa yang berkompetisi dengan memberitakan dan menayangkan program yang berbau pornografi dan porno aksi. Kaum perempuan akhirnya hanya jadi objek komersialisme dan kapitalisme," papar salah seorang peserta aksi.
Judul kutipan teks berita di atas adalah Hari Ibu, Muslimah Semarang Bakar Gambar & VCD Porno yang diterbitkan secara online melalui situs www.detik.com, edisi Rabu, 22 Desember 2004. Teks berita tersebut, secara umum merepresentasikan dukungan para pendemo yang mengklaim diri mereka sebagai Muslimah Center Jawa Tengah terhadap rencana pengesahan RUU Pornografi oleh pemerintah. Dalam teks berita tersebut, diidentifikasikan penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori determinasi.
Pada kutipan teks berita tersebut tidak disebutkan secara jelas atau spesifik media massa yang dimaksudkan. Penggunaan bentuk plural ditemukan dalam teks berita di atas. Penggunaan bentuk plural ditandai pada kata Banyak media massa …. pada awal kutipan teks berita. Penggunaan bentuk plural tersebut menimbulkan makna jamak dan efek generalisasi menjadi lebih jelas dan kentara, karena mengesankan bahwa hampir semua media massa yang menampilkan tayangan berbau pornografi.
Pada teks berita tersebut, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori determinasi secara tidak langsung dapat membantu atau melindungi pelaku sosial karena keterangan yang diperoleh tidak mengarah pada pihak yang jelas. Hal tersebut disebabkan ketidakpastian media massa mana saja yang diidentifikasi menayangkan program-program berbau pornografi dan pornoaksi atau adanya rasa takut jika membeberkan hal yang sebenarnya kepada publik. Akibatnya, teks berita tersebut menimbulkan efek generalisasi sehingga pembaca tidak memahami dan memaknai secara benar dan berasumsi bahwa semua media massa berperan dalam penyebaran pornografi dan pornoaksi.
Selanjutnya, kutipan teks berita berikut ini berjudul FPDIP Boikot Rapat Tim Perumus RUU APP di Puncak yang diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Jumat, 10 Maret 2006. Kutipan teks di bawah ini menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori indeterminasi.
Rapat tim perumus Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Puncak, Bogor pada Sabtu dan Minggu lusa dipastikan tidak akan dihadiri oleh anggota Fraksi PDIP. Pasalnya, mereka menyatakan memboikot acara tersebut dengan alasan Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale tidak akomodatif.
Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan sikap anggota FPDIP yang memastikan tidak akan hadir dalam rapat tim perumus RUU APP dengan kata lain memboikot acara tersebut. Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale dianggap tidak akomodatif dan dinilai telah melecehkan hak politik dari fraksi dengan melanggar beberapa prosedur dalam penyusunan RUU APP tersebut. Satu di antara pelanggaran tersebut adalah tidak dibentuknya panitia kerja sebelum masuk tim perumus.
Penggunaan kategori  indeterminasi dalam kutipan teks berita tersebut terdapat pada kalimat Rapat tim perumus Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Puncak, Bogor pada Sabtu dan Minggu lusa dipastikan tidak akan dihadiri oleh anggota Fraksi PDIP dan pada kalimat Pasalnya, mereka menyatakan memboikot acara tersebut dengan alasan Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale tidak akomodatif. Penulis berita menyebutkan secara jelas apa yang terjadi dan siapa subjek atau pelaku sosial yang diberitakan. Dalam hal ini, anggota FPDIP dan Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale sebagai pelaku sosial yang menyebabkan aksi boikot itu terjadi dan alasan yang menyebabkan pemboikotan dilibatkan atau ditampilkan secara jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi. Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan kepada khalayak pembaca bagaimana sikap tegas dari angggota FPDIP yang memboikot kegiatan rapat tim perumus RUU APP dan tidak menyetujui adanya RUU APP. Anggota FPDIP pada teks berita tersebut direpresentasikan sebagai fraksi yang memegang teguh prinsip dan aturan atau prosedur dalam penyusunan RUU APP. Dalam teks berita, FPDIP ditampilkan sebagai pihak yang dirugikan karena merasa hak politik mereka telah dilecehkan oleh pimpinan Pansus (Balkan Kaplale). Hal tersebut terlihat pada kalimat berikut ini.
Sikap keras ini diambil FPDIP karena pimpinan Pansus RUU APP dinilai telah melecehkan hak politik dari fraksi.
Kalimat tersebut muncul dalam teks berita berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh anggota Komisi VIII asal FPDIP Alfridel Jinu, "Kami walk out karena pimpinan pansus tidak memberi waktu kepada fraksi untuk membuat daftar isian masalah (DIM)," dan "Sangat terlihat adanya pemaksaan dari pimpinan pansus. Padahal DIM tidak bisa dibuat secara acak," katanya. Berdasarkan dua pernyataan tersebut, pimpinan Pansus dalam teks berita sebagai pelaku sosial digambarkan secara tidak baik karena dianggap tidak adil dan otoriter. Hal ini terlihat pada penggunaan kata melecehkan dan pemaksaan dalam teks berita tersebut.
Keenam, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori asimilasi-individualisasi.  Penggunaan kategori tersebut dilakukan dengan cara tidak menampilkan pelaku sosial secara jelas tetapi justru komunitas tempat pelaku tersebut berada yang secara spesifik ditampilkan (asimilasi) atau sebaliknya menampilkan pelaku dan komunitasnya secara jelas dan spesifik (individualisasi) dalam pemberitaan. Dalam teks berita RUU Pornogorafi, penggunaan kategori asimilasi tampak pada kutipan teks berita berikut ini.
DPRD Sulawesi Utara (Sulut) menyatakan menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi yang sementara dibahas di DPR RI, karena dinilai tidak merangkul aspirasi daerah.
Judul teks berita pada kutipan teks di atas adalah DPRD Sulawesi Utara Tolak RUU Pornografi yang diterbitkan oleh situs www.kompas.com edisi Senin, 13 Oktober 2008. Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap RUU Pornografi yang dilakukan oleh DPRD Sulawesi Utara dengan alasan RUU Pornografi yang saat ini dibahas oleh DPR RI dinilai tidak merangkul aspirasi daerah dan tidak memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Indonesia yang plural.
Kutipan teks berita di atas menggunakan strategi wacana inklusi melalui penggunaan kategori asimilasi. Kategori asimilasi merupakan strategi wacana yang tidak menampilkan pelaku sosial dengan jelas secara spesifik, tetapi kelompok atau lembaga tempat pelaku sosial tersebut berada yang lebih diutamakan. Kategori asimilasi tampak pada proposisi pertama yakni pada kalimat DPRD Sulawesi Utara (Sulut) menyatakan menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi …. Dalam kalimat tersebut, tidak disebutkan siapa anggota DPRD Sulawesi Utara yang menyatakan penolakan terhadap RUU Pornografi tetapi yang diacu adalah komunitas atau asosiasi yang lebih besar yang bernama DPRD Sulawesi Utara. Melalui penggunaan kategori ini, menggambarkan seluruh anggota di DPRD Sulawesi Utara yang menyatakan penolakan tersebut.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan kepada khalayak pembaca tentang bagaimana sikap tegas dari DPRD Sulawesi Utara yang memutuskan menolak penetapan RUU pornografi yang pada saat itu sedang dalam pembahasan di DPR RI. Sikap tegas tersebut diwujudkan dalam bentuk surat penolakan yang ditanda tangani oleh 44 wakil rakyat Sulawesi Utara. Dalam teks berita juga menampilkan ketidakkompakkan dalam kelembagaan DPRD Sulawesi Utara, karena dari 45 anggota hanya 44 anggota DPRD yang menandatangani surat penolakan terhadap RUU APP.
Selanjutnya, penggunaan kategori individualisasi tampak pada kutipan teks berita yang berjudul Meutia: Tidak Ada Alasan Menolak UU Pornografi yang diterbitkan oleh situs www.kompas.com edisi Kamis, 30 Oktober 2008 berikut ini.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta mengatakan, tidak ada alasan untuk menolak UU Pornografi yang baru saja disahkan oleh DPR, karena sudah banyak korban terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak akibat pornografi tersebut.
Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan sikap tegas dan netral dari Meutia Hatta sebagai pelaku sosial dalam menyikapi pro dan kontra yang disebabkan oleh penetapan RUU Pornografi oleh pemerintah. Di satu pihak, Meutia Hatta mengharapkan agar semua kalangan dapat menerima RUU Pornografi demi kelangsungan masa depan bangsa Indonesia. Di pihak lain, Meutia Hatta meyakinkan kepada semua pihak bahwa RUU Pornografi tidak akan menimbulkan disintegrasi, tidak merugikan masyarakat, dan menghormati kebhinekaan. Dalam teks tersebut, pelaku sosial disebutkan atau ditampilkan dengan jelas secara spesifik. Kategori Meutia Hatta sebagai pelaku sosial ditampilkan secara jelas dalam teks tersebut dengan menjelaskan siapa dia dan apa peranan dan kedudukannya.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan bagaimana sikap Meutia Hatta sebagai pelaku sosial dalam menyikapi pro dan kontra RUU Pornografi. Dalam teks berita tersebut, penulis berita tidak melakukan pemarjinalan atau pengucilan terhadap pelaku sosialnya (Meutia Hatta). Namun, secara tidak langsung menampilkan sikap tidak baik dari pihak lain yang terlalu berlebihan menanggapi RUU Pornografi dengan melakukan berbagai aksi penolakan sebelum mengetahui dan memahami lebih jauh isi dari RUU tersebut. Dengan kata lain, menghakimi langsung tanpa melalui pertimbangan yang baik.
Ketujuh, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori asosiasi-disosiasi. Penggunaan kategori ini dapat dilakukan dengan cara menghubungkan peristiwa, pelaku, atau kelompok sosial yang menjadi pemberitaan dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar tempat pelaku sosial itu berada (asosiasi) atau tidak menghubungkannya sama sekali dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar tempat aktor tersebut berada (disosiasi). Penggunaan kategori asosiasi tampak pada kutipan teks berita berikut ini.
 Sejauh ini RUU Pornografi tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia yang plural sehingga harus ditolak untuk diundangkan," kata Wakil Ketua DPRD Sulut, Arthur Kotambunan di Manado, Senin.
Judul dari penggalan paragraf teks berita di atas adalah DPRD Sulawesi Utara Tolak RUU Pornografi yang diterbitkan situs www.kompas.com edisi Senin, 13 Oktober 2008). Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan sikap DPRD Sulawesi Utara yang menolak RUU Pornografi yang pada saat itu masih dalam tahap pembahasan. DPRD Sulawesi Utara menganggap RUU Pornografi tersebut tidak memberikan dampak positif  bagi masyarakat Indonesia, sehingga tidak perlu diundangkan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara juga menyatakan bahwa provinsi mereka merupakan daerah yang sangat menghargai kebebasan dengan menjunjung tinggi norma agama dan budaya setempat sehingga tidak perlu diatur lagi dalam UU.
Pada kutipan paragraf teks berita tersebut, penulis berita menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori asosiasi. Strategi wacana asosiasi merupakan strategi yang menunjukkan apakah pelaku sosial dihubungkan dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar, tempat pelaku sosial tersebut berada. Dalam teks tersebut, DPRD Sulawesi Utara yang diwakili oleh Wakil Ketua DPR Arthur Kotambunan sebagai pelaku sosial memberikan pernyataan bahwa RUU Pornografi yang pada saat itu masih dalam tahap pembahasan tidak memberikan dampak positif bagi provinsi Sulawesi Utara. Untuk lebih menguatkan pernyataannya, Arthur Kotambunan menyatakan bahwa tidak hanya Provinsi mereka saja tetapi juga daerah-daerah lain yang juga merasa RUU tersebut sama sekali tidak memberikan dampak positif dengan beberapa alasan yang sama tentunya. Alasan penolakan yang dilakukan oleh DPRD Sulawesi Utara diasosiasikan dan dihubungkan dengan alasan yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yang plural di berbagai daerah.
Selanjutnya, penggunaan kategori disosiasi tampak pada kutipan teks berita di berikut ini yang berjudul Tanpa Playboy, Sudah Banyak Beredar yang Begituan diterbitkan oleh www.detik.com edisi Jumat, 13 Januari 2006.
Playboy yang berpusat di AS mengizinkan pengusaha media Indonesia untuk menerbitkan edisi lokal dalam bentuk franchise. Majalah ini akan terbit bulan akhir Maret. Saat ini, Playboy Indonesia tengah mengadakan audisi untuk cover majalah tersebut atau disebut Playmate.
Secara umum, kutipan teks berita di atas merepresentasikan pro dan kontra rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. Pro dan kontra tersebut muncul dari kalangan anggota DPR. Respons yang ditimbulkan oleh rencana tersebut bermacam-macam, ada yang menolak untuk berlangganan, ada yang merasa risih atau tidak nyaman, dan ada juga yang cuek atau tidak perduli dengan majalah baru tersebut. Pada kutipan teks berita, pelaku sosial (media Indonesia) yang berada di Indonesia dihubungkan dengan asosiasi atau kelompok lain yang lebih besar dalam pemberitaannya namun kelompok yang dihubungkan tersebut berada di luar lingkungan pelaku sosial berada yakni berada di Amerika Serikat. Selanjutnya, secara ideologis teks berita yang berjudul Tanpa Playboy, Sudah Banyak Beredar yang Begituan direpresentasikan bahwa pelanggaran pornografi Indonesia sudah ada sejak dulu. Namun, ketetapan hukum mengenai pelanggaran tersebut belum ada kejelasan. Dalam teks berita tersebut, secara tidak langsung memarinalkan pihak pemerintah yang dinilai lamban dan tidak tegas menanggapi pelanggaran pornografi di Indonesia. 
 
Berdasarkan beberapa uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan tiga hal sebagai berikut; (1) representasi ideologi teks berita RUU Pornografi dilakukan dengan strategi wacana eksklusi dan strategi wacana inklusi. Pertama, menyampaikan berita tanpa melibatkan pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaannya dengan maksud untuk melindungi pelaku sosial (eksklusi). Kedua, menyampaikan berita dengan melibatkan pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan dengan maksud untuk memarjinalkan pelaku sosial (inklusi); dan (2) penggunaan bahasa pada strategi wacana eksklusi dalam RUU Pornografilebih dominan digunakan oleh penulis berita.
Daftar Rujukan
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Diidonesiakan oleh I.Soetikno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, Fatimah. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Finoza, Lamuddin. 2002. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

Irene, Diana. 2007. Analisis Media Kippas. (http://kippas.wordpress.com/2007/07/03/perempuan-diantara-laki-laki-riset-berita-psk-di-aceh/). Diunduh 07/03/2010.

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Widyaningsih, Nina. Kalimat dalam Bahasa Indonesia. (lecturer.ukdw.ac.id/othie/pengertian kalimat). Diunduh tanggal 23/06/2010)



READ MORE - Penggunaan Bahasa dalam Representasi Ideologi pada Teks Berita tentang RUU Pornografi