Rabu, 03 November 2010

Sastra, Politik, dan Ideologi

A. Pendahuluan
Dunia sastra memperlihatkan kepada kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaan manusia itu sendiri. Di dalamnya mencakup kompleksitas ideologi, politik, kritinisasi, norma hidup, etika, tradisi, pandangan dunia luar, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebudayaannya, disoroti sebagai mahluk sosial, mahluk politik, mahluk kebudayaan, dan mahluk ekonomi. Jadi dapat disimpulkan, bahwa sastra disebut sebagai cerminan dari masyarakat dan zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa serta dalam suatu konteks sejarah tertentu.
Menurut Hamif Afif (2008) di dalam dunia sastra, wilayah sastra dibagi menjadi dua bagian. Pertama, wilayah ekspresif yang bergerak di dalam bidang ekspresi. Kedua, wilayah apresesiatif yang bergerak di dalam bidang apresiasi sastra. Pada tataran ekspresi, unsur pembangun yang paling menonjol di dalam karakter karya sastra adalah unsur ekstrinsik yang di dalam hal ini adalah ideologi. Dalam banyak hal, sastrawan yang dipengaruhi unsur intrinsik (ideologi) cenderung menggunakan sastra sebagai “kendaraan kebenaran” atau paham yang mereka anut untuk menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran mereka.
Ketika kebebasan berekspresi seseorang “dibungkam” dengan aturan yang ada, permainan kata-kata di dalam karya sastra muncul sebagai solusi atau media terbaik untuk mengembangkan dan menyampaikan apresiasi yang sebelumnya tak tersampaikan. Hanya saja, kebebasan seorang sastrawan di dalam menyampaikan ideologi yang dianutnya melalui karya-karyanya dianggap terlalu berlebihan atau lebih tepatnya seperti dipaksakan dan memojokkan pihak tertentu sehingga menimbulkan pertentangan, bahkan antar sastrawan.
Untuk pembahasan selanjutnya, pada makalah ini akan dibahas mengenai Sastra, Politik, dan Ideologi.

B. Pembahasan
1. Definisi: Sastra, Politik, dan Ideologi
Definisi sastra sampai saat ini belum memiliki definisi yang disepakati bersama secara universal. Ketika muncul definisi sastra, muncul pula definisi yang baru di tempat lain atau pun di waktu yang lain. Estetika menjadi unsur terpenting sastra, pada lingkaran estetika ini pun masih diperdebatkan oleh para ahli sastra. Secara etimologis sastra berasal dari bahasa sansekerta, kata Sas- dan –Tra yang berarti “alat mengarahkan”. Karya sastra selama ini dianggap hanya mengetengahkan atau menceritakan suatu kisah fiksi yang berasal dari pengalaman sang pengarang. Akan tetapi, tanpa mereka sadari, melalui karya sastranya, pengarang maupun pengair secara tidak langsung menyiratkan pandangan atau ideologinya.
Ideologi adalah paham, teori dan tujuan yang dimiliki individu atau konsep yang bersistem yang dijadikan sebagai landasan pendapat yang memberikan arah dan tujuan hidup (KTBI, 2008:294). Ideologi merupakan seperangkat kepercayaan, sikap, nilai, dan ide yang memberi ciri kesadaran kelompok pada suatu masa sejarah tertentu. Kemudian di dalam ESI (2004:345) menyatakan sebagai berikut.
Ideologi adalah paham, teori, atau tujuan terpadu yang merupakan satu program sosial politik. Istilah ini diciptakan oleh Destutt de Tracy (Prancis, 1976) guna menunjukkan suatu ilmu baru yang meneliti ide-ide manusia, asal mulanya, sifat-sifat serta hukum-hukumnya. Menurut arti yang umum ideologi menunjukkan ide-ide yang mendasari sebuah sistem filsafat atau pandangan hidup suatu kelompok tertentu. Dalam kalangan Marxis, ideologi berarti sejumlah keyakinan yang dianut oleh suatu golongan tertentu dan yang dianggap tidak perlu dibuktikan lagi, tetapi yang sebetulkan menghalalkan kepentingan golongan tertentu itu. Di sini ideologi berarti ideologi yang sedang berkuasa tetapi dalam artian yang keliru dan menyesatkan. Alam pikiran yang ditentukan oleh hubungan yang ekonomis mempergunakan sarana-sarana ideologis dan melestarikan dan meneguhkan ideologi itu. Adapun sarana-sarana itu misalnya, tata hukum, sistem pendidikan, kaidah-kaidah dalam dunia seni, norma estetik yang dianut, dan sebagainya. Citra manusia ideal yang dianut oleh Cicaro dan kaum humanis, sastra pun dapat dijadikan sarana untuk mewujudkan atau mencerminkan suatu ideologi. Tetapi sebaliknya, demikian kaum Marxis, sastra dapat juga menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa. Tetapi mau tidak mau kritik ideologi juga berpangkal pada suatu ideologi tertentu.

Jadi, berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi merupakan suatu paham, teori, atau seperangkat kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam memberikan arah dan tujuan hidup berdasarkan sarana-sarana ideologis.
Politik erat kaitannya dengan ideologi. Politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara; urusan yang mencakup siasat dalam pemerintahan negara atau terhadap negara lain; cara berpikir, taktik. Istilah politik dan ideologi tidak hanya dikenal dan digunakan di ruang lingkup pemerintahan saja, tapi di dalam sastra juga sering digunakan oleh seniman untuk menyampaikan persfektif mereka terhadap fenomena yang ada. Oleh sebab itu, kita mengenal istilah sastra politik dan ideologi, yakni bagaimana pengarang menyampaikan persfektifnya atau cara pandangannya terhadap hal-hal yang berkenaan dengan pemerintahan suatu negara melalui karya sastra. Jadi, tidak dipungkiri jika karya sastra yang bersifat politik dan ideologi menjadi momok yang sangat ditakuti, terutama pada rezim Orde Baru, karena secara tidak langsung sastra mampu mengungkapkan kebobrokan pemerintahan dan menelanjangi ideologi yang sedang berkuasa.
Apakah sastra, politik, dan ideologi hanya berkaitan dengan sistem pemerintahan dari sudut pandang seorang sastrawan? Jawabannya adalah tidak, karena politik dan ideologi di dalam sastra tidak hanya berorientasi pada politik pemerintahan saja, tapi juga di dalam berbagai bidang. Misalnya, seorang peneliti bernama Keith Foulcher dalam penelitiannya “Pujangga Baru: Kesussastraan dan Nasionalisme di Indonesia” (1933-1942), Keith Foulcher memperlihatkan bahwa di dalam gagasan Takdir (Sultan Takdir Alisjahbana) seniman memiliki peranan sebagai pemimpin dan penunjuk jalan di dalam proses perubahan sosial (Muhammad Sobary:2009). Pendirian atau ideologi ini menimbulkan perdebatan dan penentangan dari banyak kalangan, terutama Goenawan Mohamad. Bagi Goenawan, perubahan tidak datang dari sastra dan seni, melainkan dari politik. Beliau menolak gagasan atau ideoloi Takdir, bahwa sastra bisa menjadi penggerak masyarakat. Hal ini terlalu dianggapnya sebagai banyak berharap terhadap sastra dan seni. Sehingga secara tidak langsung Goenawan menganggap Takdir membesar-besarkan peranan seniman.
Emha Ainun Najib (dalam Muhammad Sobary:2009), beranggapan bahwa Takdir dan Goenawan adalah orang-orang yang tertutupdari dialog sehat karena tak mau memahami kebenaran lain di luar diri mereka. Takdir berbicara mengenai sastra yang memiliki tanggung jawab besar, sementara Goenawan lebih membatasi sistem forma keseniannya dalam sistem nilai dan disiplin seni itu sendiri, sedangkan tanggung jawab sosial dianggap merupakan bagian dari perjuangan di luar dunia seni. Kedua tokoh ini dianggapnya hidup di dalam blok-blok pemikiran dan mahzap-bila tidak kiri, ya kanan, bila bukan Barat, ya Timur, sehingga kemandirian mereka di dalam berkesussastraan layak dipertanyakan. Bagi Emha yang tampak ialah komitmen kemanusiaan para seniman dewasa ini umumnya lebih menyempit pada diri belaka. Kita butuh sastra yang bukan Marxis dan bukan Kapitalis, melainkan sastra Indonesia yang merdeka dari dominasi siapa pun, termasuk dari dominasi panglima di bidang politik maupun kebudayaan sendiri. Berdasarkan pendapat Emha Ainun Najib tersebut dapat disimpulkan, bahwa sebuah karya sastra murni tanpa pengaruh atau dominasi apa pun dan siapa pun itu di dalam mengekspresikan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh seorang sastrawan.
Akan tetapi, tidak semua sastrawan dan hasil karyanya yang mencerminkan hal yang demikian. Sehingga masih adanya pendekatan dan orientasi politis di dalam teori sastra.
2. Sastra: Politik, Ideologi dan Marxisme
Sastra di beberapa negara menjadi ‘momok’ yang menakutkan bagi para penguasa. Di Rusia pada masa kejayaan Stalin, karya-karya sastra yang menyimpang dari sudut pandang penguasa dan mengganggu kekuasaan disingkirkan dari negara, akibatnya Boris Pasternak dengan karyanya yang dilarang, yakni Doctor Zhivago yang nyata nya mendapatkan penghargaan Nobel Sastra. Di Indonesia, realita seperti di Rusia tersebut dengan mudah kita temukan. Wiji Thukul, Pramoedya Ananta Toer, dan beberapa sastrawan Lekra mendapatkan intimidasi dari negaranya sendiri. Selanjutnya, Pramoedya di dalam merespon tulisan Goenawan Muhamad di media Tempo menyatakan ‘geram’ atas tingkah pemerintah negaranya sendiri, padahal di Amerika buku-buku karya sastranya diwajibkan di jenjang sekolah tingkat lanjutan. Kemudian, Wiji Thukul mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari negaranya sendiri dan ironisnya karya-karya Wiji Thukul dianggap oleh akademisi negaranya sendiri merupakan karya sastra yang tidak bernilai estetika tinggi, padahal karya-karyanya di negara kincir angin mendapatkan penghargaan Werthrin Encourage Award.
Di abad ke 17 Terry Eagleton membicarakan banyaknya ruang-ruang diskusi publik terhadap sastra. Pembicaraan sastra di ruang publik akan membahas banyak hal, diantaranya pemerintahan, kebudayaan, dan kemanusiaan. Dalam ruang lingkup tersebut pembahasan karya sastra cenderung serius, tapi bukan berarti bahwa keseriusan pembahasan karya sastra selalu berada di ruang akademik. Sebagai pencipta karya sastra, ideologi yang ditanamkan di kepalanya akan mengalir dalam karya sastranya. Menciptakan karya sastra seolah-olah mengarahkan atau memberikan pandangan keberadaan sekitarnya melalui ideologi yang digunakan, terlepas apapun ideologi itu. Saat ini, pandangan masyarakat terhadap ideologi selalu dikait-kaitkan dalam dunia politik kekuasaan. Akan tetapi, tidak selamanya ideologi merupakan sesuatu yang harus berada pada politik kekuasaan.
Berbagai pendekatan dengan orientasi politis di dalam teori sastra, di antara nya teori sastra marxis. Tetapi, teori ini banyak dihindari oleh para seniman pada masa Orde Baru, tapi juga ada beberapa orang seniman yang secara terang-terangan menganut paham teori ini melalui karya-karya. Beberapa di antaranya seniman-seniman yang tergabung di dalam sebuah organisasi, seperti Lekra. Teori kritik sastra marxis didasarkan pada teori politik dan ekonomi dan filsuf kebangsaan Jerman. Penerapan teori ini tidak hanya pada satu bidang kehidupan saja, tapi memandang suatu hal dari segala bidang, yakni bidang ekonomi, politik, budaya, agama, dan sejarah yang mempengaruhi kondisi-kondisi sosial (masyarakat). Dengan kata lain, melihat suatu masalah melalui sudut pandang atau persfektif interdisipliner.
Kehidupan sosial individu dipengaruhi kekuatan politik dan ekonomi. Oleh karena itu, kritik sastra marxis lebih cenderung pada tekanan-tekanan dan kontradiksi di dalam karya sastra. Hal ini sesuai, sebab marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan dan pertentangan di dalam masyarakat, antara kalangan yang tertindas oleh kalangan kelas atas.

C. Cuplikan Teks Sastra
Cuplikan teks pada bagian ini diambil dalam sebuah novel dan puisi. Di dalam cuplikan teks yang diambil dari novel tersebut, menggambarkan ideologi yang berorientasi pada pola pikir pengarang mengenai kebudayaan Minangkabau yang tertuang di dalam karya sastranya. Novel yang dipilih adalah novel Bulan Susut karya Ismet Fanany. Sedangkan cuplikan teks puisi yang dipilih adalah Bunga dan Tembok karya Widji Thukul, yang berorientasi politik pada saat masa Orde Baru.

(Bulan Susut, halaman 4—5, paragraf 1)
....
Namun, waktu dia melihat anak-anak Koto yang duduk di SMA berjalan kaki ke sekolah di Batusangkar setiap pagi memakai celana panjang, Ridwan merasa ingin seperti mereka. Hanya orang yang sudah dewasa yang boleh memakai celana panjang. Ridwan tahu dia tidak mungkin dianggap dewasa kalau belum mencapai usia tertentu atau kalau belum disunat. Teman-teman sepermainannya yang sudah beberapa tahun disunat jelas tampak oleh Ridwan memperlakukannya sebagai anak kecil sekalipun mereka seusia. Dan yang lebih menyakitkan perasaan Ridwan, dia melihat gadis-gadis kecil Koto yang sudah mulai tertarik pada lawan jenisnya tahu bahwa Ridwan belum disunat dan mereka lebih memperhatikan kawan-kawannya yang sudah disunat. Di antara teman-temannya yang sudah disunat itu. Ridwan melihat ada ‘rahasia’ yang tidak boleh diketahuinya. Dan rahasia itu, Ridwan merasa pasti, ada hubungannya dengan cewek-cewek desa itu.
....

(Bulan Susut, Bab II Sepenggalah, halaman 17—18, paragraf 2)
....
Mariani dianggap pandai membawakan diri dan mengharumkan nama keluarga dengan caranya bergaul yang sopan dan patut. Bicaranya halus dan penuh santun, dan tingkah lakunya wajar. Dia berpakaian dengan cara yang sopan, tidak pernah memakai baju lengan pendek, apalagi tidak berlengan. Dia selalu memakai kain panjang atau sarung yang menutupi betisnya dan selendangnya tidak pernah terlepas sekalipun hanya tergantung di bahunya dan tidak selalu menutupi rambutnya. Rohana, sebaliknya, seperti berasal dari keluarga yang berbeda. Bicaranya kasar dengan suara keras. Dia sering tertawa terbahak-bahak di depan siapa saja. Dia berpakaian semaunya, cabul menurut penilaian Datuak Malik, dan tingkah lakunya sembrono. Dia tidak mendengarkan nasihat atau teguran keluarga, termasuk ibunya sendiri atau Datuak Malik. Itulah yang membuat Datuak Malik marah dan membuatnya merasa berhak berlaku tidak adil itu. Datuak Malik selalu memberikan hadiah lebaran kepada saudara-saudaranya kecuali kepada Rohana. Datuak Malik, dengan kekayaannya, selalu memberikan kemudahan kepada saudara-saudaranya bila diperlukan seperti waktu melahirkan, yang memerlukan biaya banyak, atau bila ada yang sakit, tetapi dia menolak memberikan apa-apa kepada Rohana. Reaksinya yang tidak simpatik terhadap kelakukan Rohana yang dianggapnya merusak nama baik keluarga itu membuat adik perempuannya itu justru bertambah menjauhkan diri dan menjadikan tingkah lakunya semakin buruk. Pada usia muda sekali, baru 17 tahun, ketertarikannya pada lawan jenisnya yang senakin berani dan menjadi-jadi manambah satu lagi dimensi kelakuannya yang tidak disenangi dan tidak disetujui keluarga. Ini berpuncak pada kehamilannya di luar nikah itu dan perkawinan paksa yang menyusulnya. Datuak Malik tidak bisa memaafkan kelakuan yang dianggapnya tidak senonoh itu dan perasaan tidak senangnya itu berlanjut pada anak-anak Rohana ....

(Bulan Susut, Bab III Condong ke Barat, halaman 56)
....
Dia diberi banyak kekuasaan oleh Datuak Malik di surau dan di kincir. Dia lebih sering diberi segala macam oleh pamannya itu, mulai dari pakaian dan keperluan sekolah sampai uang dan kebebasan. Dia membolehkan Ridwan merokok, misalnya, tetapi tidak membolehkan Kadir dan kemenakan laki-lakinya yang lain. “Tunggu sampai kalian bisa mencari uang” begitu doktrin Datuak ....

(Bulan Susut, Bab III Condong ke Barat, halaman 65)
....
Ridwan melihat dan dalam hatinya mulai menyimpulkan bahwa larangan dan suruhan itu, baik yang dipaksakan dengan tamparan dan pukulan sekalipun, merupakan bagian dari peraturan masyarakat tak tertulis yang digunakan orang untuk keuntungan diri mereka. Sambil mereguk kenikmatannya. Dalam perjalanan hidupnya di Lembah itu, dia melihat orang setiap hari melanggar berbagai peraturan itu. Pada situasi tertentu, pada tempat-tempat dan orang-orang tertentu, pelanggaran itu dapat diterima atau dilakukan dengan sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Pengalamannya dengan Laili dan pamannya di kincir pada hari pertama ia memakai celana panjang itu membuatnya tidak ragu sedikit pun bahwa larangan boleh dikerjakan dan suruhan boleh ditinggalkan. Lebih dari itu, Ridwan belajar bahwa larangan dan suruhan itu merupakan sumber kekuasaan yang digunakan orang untuk menguasai orang lain. Orang-orang tertentu tahu apa yang dilakukan seseorang, pelanggaran apa yang dikerjakan. Kiatnya, Ridwan melihat, dia harus mampu menempatkan dirinya pada posisi yang tepat dalam hubungannya dengan anggota masyarakat di sekelilingnya. Dia harus bisa menjadi bagian dari kelompok yang berkuasa menyuruh dan melarang. Maka larangan tadi bisa dilanggar dan suruhan dapat ditinggal.
Kehidupan di Lembah dan di Koto, Ridwan tahu, diatur oleh hubungan antarmanusia penghuninya. Dia sebagai individu tidak ada nilainya. Bentuk hubungan di antara dia dan yang lain merupakan faktor penentu satu-satunya apa yang boleh dia lakukan dan apa yang dapat dia langgar. Semua penghuni Lembah dan Koto saling merebut posisi sosial yang memungkinkan mereka berlaku seperti yang mereka inginkan kepada penghuni lainnya. Semakin tinggi posisi seseorang semakin banyak larangan yang boleh ia lakukan dan suruhan yang dapat ia tinggalkan. Orang pada posisi paling tinggi melakukan pa saja. Tanpa risiko, tanpa sanksi ....

(Bulan Susut, Bab IV Terbenam, halaman 112--113)
....
Masyarakat Koto, dan masyarakat luar Koto yang dikenalnya kini, bersaing dengan kejam. Diri seseorang sebagai manusia tidak dihargai dalam persaingan itu. Yang berharga hanyalah definisi hubungannya dengan orang-orang sekelilingnya, orang-orang yang bersaing dengannya dalam mengejar tujuan hidup itu. Yang kuat menghancurkan yang lemah. Yang besar menggusur yang kecil. Yang keras melumatkan yang lunak. Yang tajam mencencang yang tumpul. Yang tinggi menginjak yang rendah. Orang Koto percaya bahwa untuk mendapatkan yang diinginkan, untuk memakmurkan diri, mereka harus mementingkan diri sendiri. Bukanlah pandangan orang Koto bahwa cara terbaik untuk memakmurkan diri adalah dengan memakmurkan masyarakat atau dengan bekerja sama mencapai tujuan itu sekalipun tujuan akhir mereka pada dasarnya sama. Bukanlah falsafah hidup orang Koto bahwa orang lain itu sama pentingnya dengan diri sendiri. Menolong orang lain, dalam pandangan orang Koto, tidak berarti menolong diri sendiri. Menurut orang Koto, ke bukit biarlah orang lain mendaki asal kita menurun; yang berat biarlah orang lain yang memikul, dan yang ringan kita yang menjinjing. Falsafah orang Koto adalah bahwa, untuk mencapai maksud sendiri, kalau perlu orang lain dikorbankan, dihancurkan, digusur, dilumatkan, dicencang, dan diinjak.
....

(Bulan Susut, Bab IV Terbenam, halaman 117—118)
....
Dan Koto juga melihat Ridwan dengan cara yang berbeda. Dia sudah dewasa kini. Seperti diduganya, pakaian hijaunya itu langsung menempatkannya di jenjang atas tatanan masyarakat Koto. Ridwan lega melihat betapa benarnya Laili yang dulu mengatakan bahwa meninggalkan Koto adalah yang terbaik buatnya. Hanya dengan begitu orang Koto akan melupakan apa yang terjadi, apa yang ia lakukan. Dan dengan pakaian seragamnya, bukan saja orang akan melupakan masa lalunya, mereka juga memberi Ridwan tempat istimewa, hak istimewa, dan kebebasan berbuat yang tidak dimiliki kawan-kawan masa kanak-kanannya, termasuk Kadir.
....

Bunga dan Tembok
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun tirani harus tumbang!

D. Analisis Singkat
Dalam novel Bulan Susut ini, menceritakan bagaimana seorang kemenakan yang selama ini diperhatikan, disayangi, dan dipercayai oleh pamannya sebagai ‘mata Datuak’ di dalam segala hal, terutama di dalam hal mengatur usaha-usaha milik pamannya. Ridwan, sebagai kemenakan sang Datuak Malik memiliki nilai lebih di mata Datuak, sehingga untuk Ridwan apapun boleh dan bebas untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk merokok sekalipun. Sedangkan pada kemenakannya yang lain, Datuak tidak bersikap adil, karena mengingat dan menimbang masa lalu yang dilakukan oleh orang tua kemenakannya (saudari Datuak) yang memberikan aib kepada keluarga besar mereka yang sangat terpandang di daerah tersebut dan Datuak merasa sikap ‘tidak adil’nya itu pantas didapatkan oleh mereka yang mempermalukan keluarga (baca cuplikan teks II Sepenggalah).
Selanjutnya, di daerah tempat Ridwan lahir dan dibesarkan, Lembah dan Koto, terdapat semacam aturan atau tradisi tak tertulis di dalam masyarakat yang selama ini diemban oleh pamannya yang dianggap sebagai pemimpin desa. Aturan-aturan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan tersebut, apabila dilanggar akan mendapatkan hukuman, tapi dalam hal ini rupanya terdapat ketidakseimbangan di dalam penerapan aturan tersebut. Hanya orang-orang yang tidak memiliki posisi sosial yang penting di masyarakat yang tidak dapat lolos di dalam menerima aturan dan hukuman tersebut, sedangkan bagi orang-orang yang memiliki kuasa atau orang-orang yang memiliki hubungan dengan orang yang memiliki kuasa dapat lolos dari aturan dan hukuman tersebut. Hal ini terbukti ketika perbuatan mesum Ridwan dengan Laili yang untuk pertama kalinya diketahui secara tidak sengaja oleh pamannya, sang Datuak hanya berpesan agar tidak mengulanginya lagi dan jangan sampai ketahuan oleh orang banyak.
Sungguh hal yang aneh mengingat Datuak Malik merupakan orang yang sangat disegani di daerah tersebut, tapi membiarkan perbuatan yang telah melanggar aturan yang dilakukan oleh kemenakan kesayangannya, sedangkan jika perbuatan tersebut dilakukan oleh Kadir salah seorang kemenakannya, dia tidak peduli dan menghukumnya dengan hukuman fisik. Akan tetapi, dibalik semua itu terdapat “rahasia” terbesar Datuak yang menjadi alasan sebenarnya mengapa dia tidak menghukum Ridwan atas perbuatan mesumnya. Ternyata, Datuak memiliki hubungan yang tidak lazim dengan Laili dan sebagai seorang yang amat disegani di desanya, hal ini akan sangat memalukan jika diketahui oleh banyak orang.
Ismet Fanany di dalam novelnya Bulan Susut, menggambarkan masyarakat di Lembah dan Koto tersebut selama ini memiliki jalan pikiran yang sangat tidak manusiawi di dalam hidup bermasyarakat. Mereka yang ada di daerah tersebut saling bersaing dan tidak segan-segan bersikap kejam terhadap sesamanya dalam usaha meraih posisi sosial yang tinggi. Menurut mereka, dengan meraih posisi sosial yang tinggi, mereka akan disegani dan dihormati oleh banyak orang, meskipun ketika melakukan kesalahan dengan melanggar aturan yang ada mereka tidak takut akan dipersalahkan, karena tidak akan ada yang berani untuk menegur, menyalahkan, atau menghukum mereka. Sehingga, mereka memiliki prinsip atau falsafah hidup “Orang Koto percaya bahwa untuk mendapatkan yang diinginkan, untuk memakmurkan diri, mereka harus mementingkan diri sendiri. Bukanlah pandangan orang Koto bahwa cara terbaik untuk memakmurkan diri adalah dengan memakmurkan masyarakat atau dengan bekerja sama mencapai tujuan itu sekalipun tujuan akhir mereka pada dasarnya sama. Bukanlah falsafah hidup orang Koto bahwa orang lain itu sama pentingnya dengan diri sendiri. Menolong orang lain, dalam pandangan orang Koto, tidak berarti menolong diri sendiri. Menurut orang Koto, ke bukit biarlah orang lain mendaki asal kita menurun; yang berat biarlah orang lain yang memikul, dan yang ringan kita yang menjinjing. Falsafah orang Koto adalah bahwa, untuk mencapai maksud sendiri, kalau perlu orang lain dikorbankan, dihancurkan, digusur, dilumatkan, dicencang, dan diinjak” (baca cuplikan teks Bab IV Terbenam, halaman 112).
Berdasarkan beberapa cuplikan teks novel Bulan susut yang terdiri dari empat bab ini dan analisis singkat teks, dapat disimpulkan bahwa Ismet Fanany memiliki pandangan atau ideologi mengenai masyarakat minang dan budayanya yang cenderung menekan dan merugikan. Hal ini terlihat pada paragraf-paragraf di dalam novelnya, misalnya pada halaman 112, paragraf kedua.
Selanjutnya, pada puisi Bunga dan Tembok karya Widji Thukul, lebih menekankan atau lebih tepatnya berorientasi pada perkembangan politik di Indonesia, pada masa Orde Baru. Thukul menggunakan kiasan “tembok” untuk penguasa dan “bunga” untuk rakyat yang dirampas tanah dan rumahnya dalam puisi Bunga dan Tembok tersebut. Sikap dan ideologi Thukul terhadap tirani jelas tergambar pada kata harus tumbang!.

E. Kesimpulan
Sastra membawa muatan dan menawarkan kepada kita suatu corak ideologi atau paham, misalnya paham kebangsaan, yang perlahan-lahan tumbuh dalam kesadaran kita setelah sebuah karya sastra bisa betul-betul dibaca oleh banyak kalangan dan memberi mereka inspirasi. Apapun maknanya, paham kebangsaan itu kita tangkap, merasuk ke dalam diri, dan melekat menjadi bagian dari hidup kita. Ia menjadi “api” yang menyala, terutama pada zaman yang sedang bergolak ini.
Ideologi merupakan suatu paham, teori, atau seperangkat kepercayaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok tertentu dalam memberikan arah dan tujuan hidup. Sedangkan, Politik adalah hal-hal yang berkenaan dengan tata negara atau cara berpikir, taktik. Berdasarkan pengertian ini, orang akan berpikir bahwa istilah ideologi dan politik hanya ada di ruang lingkup pemerintahan saja. Tetapi, sebenarnya istilah politik dan ideologi di dalam sastra juga sering digunakan oleh seniman untuk menyampaikan persfektif atau pandangan mereka terhadap fenomena atau peristiwa di dalam pemerintahan yang disampaikan melalui karya sastra mereka dalam bentuk tulisan dan sebagian dari mereka (seniman) menggunakan pendekatan teori marxis di dalam tulisannya
Kritik sastra Marxis lebih cenderung pada tekanan-tekanan dan kontradiksi di dalam karya sastra. Hal Ini sesuai, sebab marxisme pada awalnya dirumuskan untuk menganalisa suatu tekanan dan pertentangan di dalam masyarakat. Kritik sastra marxis juga memandang literatur sangat dekat terhubung dengan kekuatan sosial dan analisa mereka atas literatur yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan sosial paling besar. Jadi, tidak dipungkiri jika karya sastra yang mengetengahkan politik dan ideologi, menjadi momok yang sangat ditakuti, terutama pada rezim Orde Baru, karena secara tidak langsung sastra mampu mengungkapkan kebobrokan pemerintahan dan menelanjangi ideologi pemerintah yang sedang berkuasa. Sehingga, tidak semua sastrawan yang berani menggunakan teori ini. Akan tetapi, tidak semua ideologi yang ada pada pemikiran seorang sastrawan yang berorientasi pada bidang politik pemerintahan, karena setiap sastrawan merupakan individu yang memiliki persfektif atau pandangan masing-masing.
Daftar Pustaka

Afif, Hamid. 2008. Menyampaikan Ideologi Lewat Sastra. (http://www.kaweki.com/cetak.php?id=17). Download tanggal 22/05/09.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2004. Ensiklopedia Sastra Indonesia: Edisi Ketiga. Bandung: Titian Ilmu.

Ismet, Fanany. 2005. Bulan Susut. Jakarta: Buku Kompas.

Tim Reality. 2008. Kamus Terbaru Bahasa Indonesia. Surabaya: Reality Publisher.

Sobary, Mohammad. 2009. Sastra, Ideologi, dan dunia Nilai. (http://www.sastra-indonesia.com/2009/04/sastra-ideologi-dan-dunia-nilai/). Download tanggal 22/05/09.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar