Selasa, 02 November 2010

Penggunaan Bahasa dalam Representasi Ideologi pada Teks Berita tentang RUU Pornografi


Dalam penyajian berita, penulis berita dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dalam menyajikan peristiwa yang diberitakan. Oleh karena itu, penulis berita cenderung tidak netral dalam membuat berita. Akibatnya, masyarakat menjadi bingung sehingga terjadi kesalahan dalam memaknai sebuah berita. Sebagian pembaca hanya terfokus membaca materi-materi yang ada di dalam teks berita tanpa memahami lebih jauh maksud atau makna yang tersebunyi di dalam berita tersebut. Untuk mengetahui dan memahami maksud atau makna yang tersembunyi di balik teks-teks berita tersebut, perlu dilakukan analisis wacana kritis.
Selanjutnya, pemahaman dasar analisis wacana kritis adalah wacana tidak dipahami semata-mata sebagai objek studi bahasa atau dipandang di dalam pengertian linguistik tradisional, tetapi bahasa di dalam analisis wacana kritis dipahami sebagai alat yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi. Analisis wacana yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah bagaimana upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari seseorang yang mengemukakan suatu pernyataan ketika menanggapi suatu topik pemberitaan.
Sebelum maupun sesudah penetapan, RUU Pornografi selalu menimbulkan pro dan kontra antarberbagai pihak. Budayawan dan cendikiawan Bali menyatakan penolakan mereka terhadap penetapan RUU Pornografi melalui pertemuan yang diadakan Komponen Rakyat Bali (KRB) di Denpasar, hari Sabtu, tanggal 13 September 2008. Selanjutnya, DPRD Sulawesi Utara juga menyatakan menolak RUU Pornografi yang pada saat itu berada dalam tahap pembahasan, karena dinilai tidak merangkul aspirasi daerah. Sedangkan, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), mendesak pemerintah dan parlemen mengesahkan RUU Pornografi untuk menjadi ketentuan hukum di tanah air.
Theo van Leeuwen memperkenalkan model analisis wacana kritis untuk menganalisis atau meneliti suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Model analisis tersebut mengenai bagaimana suatu kelompok atau individu secara dominan lebih memegang kendali dalam menafsirkan suatu peristiwa dan pemaknaannya, sementara kelompok lain yang posisinya rendah cenderung untuk terus-menerus dijadikan sebagai objek pemaknaan dan digambarkan secara tidak baik (Eriyanto, 2001:171). Misalnya, kelompok buruh, petani, nelayan, imigran gelap, dan wanita adalah aktor atau kelompok yang bukan secara riil tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan, tetapi di dalam wacana pemberitaan sering digambarkan secara tidak baik, tidak berpendidikan, mengganggu ketentraman, dan kenyamanan serta sering bertindak anarkis.
 Dalam hal ini, terdapat kaitan antara wacana dan kekuasaan. Maksudnya, kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui jalur-jalur formal, hukum, dan institusi negara dengan kekuasaannya untuk melarang dan menghukum, tetapi juga beroperasi melalui serangkaian wacana untuk mendefinisikan sesuatu atau suatu kelompok sebagai pihak yang tidak baik.
Analisis model van Leeuwen secara umum menampilkan bagaimana pihak-pihak dan pelaku (bisa seseorang atau kelompok) ditampilkan di dalam pemberitaan dengan dua pusat perhatian (Eriyanto, 2001:172--173). Pertama, eksklusi (exclusion), yakni apakah di dalam suatu teks berita ada kelompok atau pelaku yang dikeluarkan dalam pemberitaan, dan strategi wacana apa yang dipakai di dalam proses exclusion atau eksklusi tersebut. Proses ini secara tidak langsung bisa mengubah pemahaman khalayak akan suatu isu dan melegitimasi posisi pemahaman tertentu strategi wacani ini menggunakan tiga kategori, yakni pasivasi, nominalisasi, dan penggantian anak kalimat. Kedua, inklusi (inclusion), yakni suatu proses yang berhubungan dengan pertanyaan bagaimana masing-masing pihak atau kelompok itu ditampilkan melalui pemberitaan. Strategi wacana ini menggunakan tujuh kategori, yakni deferensiasi-indeferensiasi, objektivasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-individualisasi, dan asosiasi-disosiasi. Baik proses eksklusi maupun inklusi tersebut menggunakan apa yang disebut dengan strategi wacana. Dengan menggunakan kata, kalimat, informasi, atau susunan bentuk kalimat tertentu, strategi bercerita tertentu, masing-masing kelompok direpresentasikan dalam teks.
Pertama, penggunaan kalimat pasif (pasivasi). Penggunaan kategori ini dalam sebuah pemberitaan pada dasarnya bertujuan untuk menyamarkan atau sengaja tidak menyebutkan pelaku atau kelompok sosial tertentu dalam suatu pembicaraan atau wacana (Eriyanto, 2006:173). Penggunaan kategori pasivasi tersebut dilakukan untuk melindungi pelaku atau kelompok sosial yang seharusnya dilibatkan atau disebutkan dalam pemberitaan. Misalnya, pada kutipan teks berita berikut ini.
Penerbit Playboy Indonesia terus diburu. DPR juga tidak mau ketinggalan. Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama akan memanggil penerbit majalah itu. Penerbit diminta membatalkan rencananya menerbitkan Playboy edisi Indonesia.
Kutipan teks berita tersebut dikutip dari teks berita yang berjudul DPR Panggil Penerbit Playboy yang diterbitkan secara online melalui situs www.detik.com edisi Kamis, 19 Januari 2006. Penggunaan kategori pasivasi ditandai dengan penggunaan kata diburu pada kalimat pertama pada teks berita. Kata diburu pada kalimat tersebut menyembunyikan atau tidak melibatkan pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan. Penulis berita tidak ingin melibatkan siapa saja pihak yang pada saat itu memburu penerbit majalah Playboy.
 Selain itu, tujuan penulis berita dengan tidak menyebutkan pelaku lain dalam pemberitaannya bertujuan agar khalayak pembaca lebih terfokus pada topik pemberitaan yakni pro dan kontra rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. Pada penggunaan kategori pasivasi, penulis berita lebih mementingkan sasaran (predikat) yang menjadi pemberitaan (penerbit Playboy) daripada pelaku sosialnya (Eriyanto, 2006:174). Dapat disimpulkan, melalui kategori pasivasi sebuah kalimat dapat berdiri sendiri tanpa membutuhkan kehadiran pelaku.
Melalui penggunaan kategori pasivasi, sebuah kalimat dapat berdiri sendiri tanpa membutuhkan pelaku (subjek). Namun, apabila prefiks di- pada kata buru diganti prefiks me- menjadi memburu maka kalimat pada teks berita tersebut merupakan kalimat aktif. Sebuah kalimat aktif tidak lengkap tanpa adanya sasaran (predikat), sehingga membutuhkan pelaku (subjek) untuk melengkapi kalimat tersebut. Jika tidak, makna yang ingin disampaikan melalui kalimat tersebut menjadi rancu dan sulit untuk dipahami.
Kedua, strategi wacana eksklusi dilakukan melalui penggunaan kategori nominalisasi yakni suatu proses yang mengubah kata kerja (verba) menjadi kata benda (nomina) dengan memberikan imbuhan “pe-an” atau “ke-an” (Eriyanto, 2006:175). Berikut ini kutipan teks berita yang menggunakan strategi wacana eksklusi dalam kategori nominalisasi.
Balkan menjelaskan, penghilangan kata 'anti' merupakan kesepakatan dari 10 fraksi yang diusulkan oleh salah satu fraksi.
Judul dari kutipan atau penggalan teks berita tersebut adalah RUU APP Jadi RUU Pornograf , diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Rabu, 24 Januari 2007 secara online. Secara umum, teks berita tersebut memberitakan perubahan nama RUU APP menjadi RUU Pornografi yang telah disepakati oleh Tim Perumus RUU APP. Kata anti dan pornoaksi dihilangkan berdasarkan kesepakatan sepuluh fraksi yang menghadiri rapat Pansus, namun pada teks berita tidak disebutkan secara jelas dari fraksi mana saja.
Penggunaan nominalisasi dilakukan dengan memberi imbuhan “pe-an” atau “ke-an.” Melalui penggunaan imbuhan tersebut, pelaku yang seharusnya menjadi subjek yang melakukan atau menyepakati sesuatu bisa disamarkan dalam struktur kalimat ketika kata kerja diubah ke dalam bentuk kata benda dengan memberi imbuhan “ke-an”. Apabila kata kesepakatan diubah menjadi sepakat, maka pada kalimat tersebut membutuhkan subjek atau pelaku yang melakukan tindakan. Penulis berita harus menyebutkan sepuluh fraksi yang menyetujui adanya perubahan pada RUU APP. Jadi dapat disimpulkan, nominalisasi tidak membutuhkan pelaku, karena nominalisasi pada dasarnya adalah proses mengubah kata kerja yang bermakna tindakan atau kegiatan menjadi kata benda yang bermakna peristiwa.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan sikap hati-hati Balkan untuk menghindari masalah dari sepuluh fraksi yang melakukan kesepakatan adanya perubahan pada RUU APP dengan cara tidak menyebutkan dari fraksi mana saja yang terlibat. Sikap hati-hati Balkan bertujuan untuk melindungi image atau citra sepuluh fraksi yang terlibat. Dapat disimpulkan, ideologi yang ingin disampaikan melalui teks berita tersebut adalah seorang pimpinan memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya. Balkan sebagai seorang pemimpin memiliki kewajiban untuk melindungi hak dan kewajiban anggota-anggotanya dalam menyatakan pendapat.
Ketiga, kategori terakhir dalam strategi wacana eksklusi adalah kategori penggantian anak kalimat. Kategori penggantian anak kalimat merupakan pengganti pelaku sehingga yang muncul adalah alasan pelaku mengambil suatu tindakan, sementara pelaku sendiri menjadi tidak tampak dalam wacana.  Judul teks berita dari kutipan teks berikut ini adalah Ayu Luncurkan Sidang “Susila”di DPR yang diterbitkan secara online oleh situs www.kompas.com edisi Selasa, 08 April 2008.
Merespons pembahasan RUU Pornografi (sebelumnya bernama RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi), Ayu meluncurkan sebuah buku berjudul Sidang Susila: Naskah Komedi dan Catatan Perihal RUU Pornografi.
Kutipan teks berita tersebut menggunakan strategi wacana eksklusi dalam kategori penggantian anak kalimat. Kalimat pertama atau proposisi pertama berfungsi sebagai alasan mengapa Ayu (sebagai pelaku sosial kedua/anak kalimat) melakukan tindakan, yakni dengan meluncurkan sebuah buku sebagai respons penolakan terhadap RUU APP yang hendak ditetapkan oleh DPR (sebagai pelaku sosial pertama). Selanjutnya, kalimat kedua atau proposisi kedua ditambahkan untuk menjawab pertanyaan apa usaha yang dilakukan oleh Ayu Utami dalam merespons RUU APP yang sedang dibahas di DPR.
Penggunaan kategori wacana tersebut pada teks berita di atas hanya bertujuan untuk melindungi pelaku dengan tidak melibatkannya dalam pemberitaan. Namun, bukan berarti masyarakat sebagai khalayak pembaca tidak mengetahui siapa yang dimaksudkan oleh penulis berita dalam pemberitaan yang ditulisnya. Walaupun strategi ini menyamarkan pelaku sosial dalam pemberitaannya, tetap tidak mengubah maksud yang ingin disampaikan oleh penulis berita mengenai penolakan atas RUU APP oleh penyusun RUU tersebut (pemerintah/DPR).
Penggunaan tiga kategori tersebut bertujuan untuk menyamarkan atau tidak menyebutkan sama sekali pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan, karena strategi wacana eksklusi lebih mementingkan sasaran pemberitaan daripada pelaku. Dengan kata lain, suatu kalimat dapat berdiri sendiri tanpa kehadiran pelaku. Namun, penggunaan strategi wacana eksklusi ini tidak selalu digunakan dalam pemberitaan mengenai RUU Pornografi karena sebagian penulis berita lebih memilih atau cenderung terbuka menampilkan peristiwa, pelaku, maupun kelompok sosial yang menjadi pelaku dalam pemberitaannya. Salah satu alasan penulis berita menggunakan bahasa melalui strategi wacana ini, karena khalayak pembaca dianggap sudah mengetahui pelaku atau kelompok sosial mana yang dimaksudkan dalam pemberitaan. Selain itu, alasan penulis berita menggunakan strategi ini adalah untuk efesiensi kata.
Jika strategi wacana eksklusi berusaha menyamarkan atau tidak menyebutkan pelaku atau kelompok sosial lain dalam pemberitaannya, strategi wacana inklusi justru sebaliknya. Strategi wacana inklusi menyebutkan pelaku atau kelompok sosial lain dalam pemberitaannya dengan tujuan untuk dimarjinalkan atau dipojokkan pelaku tersebut. Penggunaan strategi wacana ini meliputi tujuh macam cara yaitu, diferensiasi-indiferensiasi, objektivasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, asimilasi-individualisasi, dan asosiasi-disasosiasi.
Pertama, penggunaan strategi inklusi dalam kategori diferensiasi-indiferensiasi. Penggunaan kategori ini oleh penulis berita adalah untuk merepresentasikan perbedaan sikap antara dua belah pihak atau dengan kata lain untuk memperlihatkan siapa yang baik dan siapa yang jahat dalam sebuah pemberitaan atau menampilkannya secara mandiri tanpa melibatkan pihak lain (Eriyanto, 2006:179). Perbedaan sikap tersebut diungkapkan melalui penggunaan dua proposisi. Penggunaan dua proposisi pada kategori diferensiasi ini biasanya dimaksudkan untuk membedakan sikap antara dua pelaku atau kelompok sosial. Hal tersebut dilakukan untuk memarjinalkan satu di antara pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan. Penggunaan kategori tersebut dapat dilihat pada kutipan teks berita berikut ini. Judul berita pada kutipan tesk berita adalah Belum Ada UU, Pemerintah Cuma Bisa Tegur Aksi Pornografi yang diterbitkan melalui media online www.detik.com edisi Kamis, 01 Desember 2005.
Siapa yang tidak geram dengan maraknya aksi pornografi di masyarakat. Tapi sayangnya, saat ini pemerintah hanya menegur terhadap tayangan atau media yang berbau pornografi di masyarakat.
 Teks berita tersebut, secara umum merepresentasikan dukungan MUI (Majelis Ulama Indonesia) terhadap rencana pengesahan RUU Pornografi oleh pemerintah. Dalam teks berita tersebut, diidentifikasikan penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori diferensiasi. Kutipan teks berita menampilkan secara kontras peristiwa dan pelaku sosial atau kelompok lain dalam sebuah teks melalui penggunaan dua proposisi. Pada proposisi pertama, memperlihatkan sikap tidak senang MUI terhadap pihak stasiun televisi swasta yang dianggap sebagai pelaku utama dalam kasus penyebaran pornografi dan pornoaksi melalui tayangan-tayangan yang menurut mereka berbau pornografi dan pornoaksi. Selanjutnya, pada proposisi kedua memperlihatkan sikap pemerintah sebagai pelaku sosial kedua yang dinilai lamban dalam menanggapi kasus penyebaran pornografi dan pornoaksi dan sikap lamban tersebut dinilai memicu perkembangan penyebaran kasus tersebut di Indonesia.
Pada teks berita tersebut, posisi pemerintah (DPR) dimarjinalkan dengan menampilkan seakan-akan tidak serius dalam menanggapi kasus penyebaran pornografi dan pornoaksi di Indonesia. Dikatakan dimarjinalkan, teks berita tersebut memisahkan atau membedakan sedemikian rupa proposisi pertama (sikap MUI dalam menanggapi kasus penyebaran pornografi) yang dianggap sebagai akibat proposisi kedua (pihak pemerintah/DPR yang dinilai lamban sehingga menambah persentase penyebaran pornografi dan pornoaksi di Indonesia).
Selain penggunaan dua proposisi dalam menampilkan pelaku dalam pemberitaan, strategi wacana inklusi dalam teks berita RUU Pornografi juga dilakukan dengan menggunakan kalimat pasif  untuk   menampilkan peristiwa, pelaku, atau kelompok sosial dalam sebuah teks secara mandiri (indiferensiasi) tanpa menghubungkannya dengan peristiwa lain atau tanpa menghadirkan pelaku dan kelompok sosial lain dengan maksud untuk membandingkan. Penggunaan kategori indiferensiasi dapat dilihat pada kutipan teks berita berikut ini. Kutipan teks berita di bawah ini berjudul Tidak Ada Kesepakatan RUU APP Selesai Bulan Juni oleh www.detik.com edisi Kamis, 23 Maret 2006.
DPR masih terus membahas RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP).
Teks berita tersebut secara umum, merepresentasikan kegiatan anggota DPR RI dalam menyelesaikan RUU Pornografi agar dapat segera dapat disahkan menjadi UU. Pada kutipan teks berita tersebut, DPR RI sebagai pelaku atau kelompok sosial dalam teks berita ditampilkan secara mandiri tanpa kehadiran pihak lain. Peristiwa yang ditampilkan juga ditampilkan secara mandiri tanpa dihubungkan atau dikaitkan dengan peristiwa lain dalam teks berita.
Selanjutnya, secara ideologis teks berita tersebut merepresentasikan usaha yang dilakukan oleh anggota DPR RI dalam menyelesaikan RUU Pornografi agar segera disahkan demi memenuhi tuntutan berbagai pihak selama ini juga RUU lainnya. Hal ini merepresentasikan, bahwa DPR RI tidak ingin mengabaikan tugasnya sebagai pengemban amanat rakyat dan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya.
Kedua, penggunaan kategori objektivasi-abstraksi. Kategori ini berhubungan dengan informasi mengenai suatu peristiwa atau pelaku sosial yang ditampilkan dengan memberi petunjuk yang konkret (objektivasi) atau sebaliknya tidak jelas (abstraksi). Perhatikan dua kutipan teks berita berikut ini.
Dalam waktu yang hampir bersamaan juga datang masa dari Forum Bersama Tolak Pornografi dan Pornoaksi. Sebelumnya sudah hadir massa dari Komite Perjuangan Rakyat. Para pengunjuk rasa dari berbagai elemen yang berjumlah sekitar 500 orang, dengan tuntutan masing-masing, kini memenuhi ruas jalan di depan Gedung DPR/MPR.
Judul berita dari kutipan teks berita di atas adalah Usung Beragam Tuntutan, Ratusan Orang Demo di DPR yang di update secara online melalui situs www.detik.com edisi Jumat, 01 Oktober 2004. Kutipan teks berita di atas menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori objektivasi. Dalam teks tersebut, secara umum merepresentasikan keinginan para pendemo dari berbagai elemen, dari Forum Bersama Tolak Pornografi dan Pornoaksi, yang merupakan gabungan KAMMI, KAPMI, Forum Silaturahmi Masjid Perkantoran Jakarta, menuntut DPR segera mengesahkan RUU Antipornografi dan Antipornoaksi (saat ini telah diganti menjadi UU Pornografi) menjadi UU.
Penggunaan strategi wacana inklusi kategori objektivasi bertujuan untuk memberikan informasi kepada khalayak pembaca mengenai suatu peristiwa secara jelas dan konkret. Hal tersebut tampak pada kalimat Para pengunjuk rasa dari berbagai elemen yang berjumlah sekitar 500 orang, dengan tuntutan masing-masing …. Pada kalimat tersebut menunjukkan secara jelas berapa jumlah demonstran yang tergabung dari berbagai elemen. Dalam hal ini, penulis berita memiliki informasi, data, dan fakta yang mendukung untuk menuliskan berita tersebut secara jelas kepada masyarakat. Dapat disimpulkan, melalui penggunaan kategori objektivasi khalayak pembaca dapat mengetahui informasi secara jelas dan tepat.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan jika selama ini pemerintah dan DPR dinilai tidak bersungguh-sungguh dalam melaksanakan tugasnya sehingga kepentingan rakyat terabaikan. Hal tersebut terbukti dengan belum disahkannya RUU Pornografi dan pembahasannya dinilai lamban dan belum jelas kapan akan segera ditetapkan sebagai UU karena tidak adanya ketegasan dari pemerintah dan DPR. Secara tersamar, teks berita tersebut memarjinalkan posisi anggota DPR walaupun pihak mahasiswa menyetujui adanya RUU APP.
Ia mencontohkan di negara-negara yang jauh lebih liberal dari Indonesia penyebaran material berbau pornografi dapat dibatasi. Tetapi, di Indonesia barang-barang tersebut malah dengan mudah dapat diperoleh bahkan oleh anak kecil. "Ini karena hukum yang ada belum dilaksanakan padahal penyebaran barang pornografi di KUHP sudah ada hukumnya,"katanya
Judul kutipan teks berita tersebut adalah Kekang Kebebasan Berekspresi, JIL Tolak RUU APP oleh situs www.detik.com edisi Selasa, 25 April 2006. Kutipan teks berita tersebut menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori abstraksi. Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap RUU APP yang dilakukan oleh JIL (Jaringan Islam Liberal). JIL menilai RUU APP akan mengancam kebebasan berekspresi dan berkarya bagi berbagai pihak.
Penggalan teks berita tersebut menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori abstraksi. Ia mencontohkan di negara-negara yang jauh lebih liberal dari Indonesia penyebaran material berbau pornografi dapat dibatasi …, pada kalimat tersebut strategi abstraksi terlihat pada kata ulang negara-negara. Dalam hal ini, pelaku sosial yang memberikan pernyataan tersebut tidak secara jelas menyebutkan negara mana saja kah yang jauh lebih liberal dari Indonesia dalam menyikapi penyebaran pornografi. Penggunaan kata ulang negara-negara bertujuan untuk menyatakan, bahwa banyak negara liberal yang mampu mengatasi penyebaran kasus pornografi dan pornoaksi di wilayahnya tanpa harus membatasi kreatifitas seseorang. Namun, tetap saja tidak memberikan keterangan atau informasi yang jelas negara mana yang dimaksudkan. Kemungkinan hal tersebut disebabkan ketidakpastian dari pelaku sosial untuk menyebutkan negara mana yang dimaksudkan, mengingat banyak negara yang ada di dunia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda dalam menyikapi pornografi. Selain itu, penggunaan kategori abstraksi sebenarnya dapat membantu atau melindungi penulis berita jika mereka tidak mengetahui secara pasti tentang suatu pemberitaan. Untuk menghindari kesalahan karena kurangnya informasi, penulis berita memilih menggunakan pilihan kata yang menggambarkan sesuatu dalam jumlah yang besar.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap RUU APP karena tidak memberikan batasan yang jelas, mengambang, terlalu luas cakupannya, dan dinilai mengancam kebebasan berekspresi terhadap berbagai pihak sehinggga kembali menuai penolakan. Walaupun nantinya RUU tersebut disahkan oleh pemerintah, tidak akan memberi jaminan jika penyebaran pornografi dapat dihentikan. Dalam hal ini, kuncinya adalah penegakan hukum dan bukan di RUU APP karena penegakan hukum mengenai pornografi sudah ada dalam KUHP.
Ketiga, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori nominasi-kategorisasi.        Kategori nominasi-kategorisasi merupakan pilihan untuk menampilkan pelaku apa adanya atau justru menampilkannya berdasarkan kategori-kategori berupa ciri penting seperti, agama, status, bentuk fisik dan sebagainya. Perhatikan penggalan kalimat dari teks berita berikut ini.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring berencana melakukan orasi beberapa menit lewat corong Radio Republik Indonesia (RRI) untuk menolak pornografi, pornoaksi, dan rencana penerbitan Playboy.
Teks berita tersebut berjudul Presiden PKS Berencana Orasi di Corong RRI Tolak Playboy yang diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Senin, 30 Januari 2006. Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap pornografi dan pornoaksi dan rencana penerbitan majalah Playboy di Indonesia serta menyetujui RUU APP oleh ketua Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring dengan melakukan orasi melalui RRI. Strategi nominasi-kategorisasi yang terlihat pada penggalan paragraf berita tersebut adalah Tifatul Sembiring sebagai pelaku sosial tidak ditampilkan apa adanya. Dalam hal ini, penulis berita menambahkan kategori pada pelaku sosial (Tifatul Sembiring). Kategori yang ditambahkan adalah status Tifatul Sembiring sebagai ketua PKS, walaupun sebenarnya penambahan kategori tersebut tidak terlalu penting karena umumnya tidak akan mempengaruhi maksud yang ingin disampaikan kepada khalayak pembaca.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan sikap tegas dari FPKS yang menolak pornografi dan penerbitan majalah Playboy di Indonesia dan menyetujui RUU APP segera ditetapkan menjadi UU dengan melakukan orasi dan aksi demo di jalan. Selain itu, teks berita tersebut memperlihatkan lambannya kerja pemerintah dalam penetapan RUU APP sehingga tuntutan dari berbagai pihak untuk segera menuntaskan RUU terus bermunculan. Hal tersebut tampak pada penggunaan kata segera menuntaskan pada teks. Pemerintah juga dinilai tidak tegas dalam menyikapi kontroversi majalah Playboy yang menimbulkan reaksi penolakan yang cukup keras, sehingga pemerintah dituntut untuk mencabut izin penerbitan majalah yang dinilai berbau pornografi tersebut. Dalam teks berita tersebut pemerintah beserta aparaturnya kembali dimarjinalkan.
Keempat, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori nominasi-identifikasi. Nominasi-identifikasi merupakan kategori strategi wacana inklusi yang hampir sama dengan kategorisasi, hanya saja dalam identifikasi proses pendefinisian pelaku, kelompok, atau suatu peristiwa dilakukan dengan memberikan anak kalimat sebagai penjelas dan secara umum dihubungkan dengan kata: yang atau di mana. Perhatikan penggalan kalimat dari teks berita berikut ini.
Selain kasus Ba'asyir, peserta kongres juga mendesak pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Pornografi dan Pornoaksi yang selama ini masih mengambang
Judul berita pada penggalan teks berita berikut ini adalah KUII IV Desak Pemerintah Membebaskan Abu Bakar Ba’asyir yang diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Senin, 18 April 2005. Penggunaan strategi inklusi dalam kategori nominasi-identifikasi yang ditandai dengan kata yang. Kata yang tersebut berperan sebagai keterangan dalam menjelaskan kalimat proposisi pertama yakni menjelaskan mengapa sampai saat RUU APP tidak juga disahkan oleh pemerintah. 
Secara ideologis, penulis berita ingin merepresentasikan sikap tidak puas peserta kongres yang merasa tidak diperlakukan adil oleh pemerintah. pemerintah dianggap tidak memberikan hal untuk diperlakukan secara adil terhadap organisasi-organisasi Islam di Indonesia. Hal tersebut dibuktikan dengan ketidakadilan yang dirasakan oleh peserta KUII terhadap proses hukum Ustad Abu Bakar Ba’asyir. Selain itu, peserta kongres juga menilai pemerintah lamban dalam proses pengesahan RUU Pornografi.
Kelima, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori determinasi-indeterminasi. Determinasi merupakan strategi wacana yang menampilkan peristiwa, pelaku, atau kelompok sosial dengan tidak disebutkan secara tidak jelas (anonim) (Eriyanto, 2006:186). Penulis berita belum mendapatkan bukti yang cukup untuk menulis atau karena ada ketakutan struktural dan jika identitas dari seorang pelaku sosial disebutkan secara jelas dalam teks akan menimbulkan masalah bagi bagi penulis berita tersebut. Penggunaan strategi ini secara tidak langsung membantu atau berusaha melindungi penulis berita. Perhatikan kutipan teks berita berikut ini.
"Banyak media massa yang berkompetisi dengan memberitakan dan menayangkan program yang berbau pornografi dan porno aksi. Kaum perempuan akhirnya hanya jadi objek komersialisme dan kapitalisme," papar salah seorang peserta aksi.
Judul kutipan teks berita di atas adalah Hari Ibu, Muslimah Semarang Bakar Gambar & VCD Porno yang diterbitkan secara online melalui situs www.detik.com, edisi Rabu, 22 Desember 2004. Teks berita tersebut, secara umum merepresentasikan dukungan para pendemo yang mengklaim diri mereka sebagai Muslimah Center Jawa Tengah terhadap rencana pengesahan RUU Pornografi oleh pemerintah. Dalam teks berita tersebut, diidentifikasikan penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori determinasi.
Pada kutipan teks berita tersebut tidak disebutkan secara jelas atau spesifik media massa yang dimaksudkan. Penggunaan bentuk plural ditemukan dalam teks berita di atas. Penggunaan bentuk plural ditandai pada kata Banyak media massa …. pada awal kutipan teks berita. Penggunaan bentuk plural tersebut menimbulkan makna jamak dan efek generalisasi menjadi lebih jelas dan kentara, karena mengesankan bahwa hampir semua media massa yang menampilkan tayangan berbau pornografi.
Pada teks berita tersebut, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori determinasi secara tidak langsung dapat membantu atau melindungi pelaku sosial karena keterangan yang diperoleh tidak mengarah pada pihak yang jelas. Hal tersebut disebabkan ketidakpastian media massa mana saja yang diidentifikasi menayangkan program-program berbau pornografi dan pornoaksi atau adanya rasa takut jika membeberkan hal yang sebenarnya kepada publik. Akibatnya, teks berita tersebut menimbulkan efek generalisasi sehingga pembaca tidak memahami dan memaknai secara benar dan berasumsi bahwa semua media massa berperan dalam penyebaran pornografi dan pornoaksi.
Selanjutnya, kutipan teks berita berikut ini berjudul FPDIP Boikot Rapat Tim Perumus RUU APP di Puncak yang diterbitkan oleh situs www.detik.com edisi Jumat, 10 Maret 2006. Kutipan teks di bawah ini menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori indeterminasi.
Rapat tim perumus Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Puncak, Bogor pada Sabtu dan Minggu lusa dipastikan tidak akan dihadiri oleh anggota Fraksi PDIP. Pasalnya, mereka menyatakan memboikot acara tersebut dengan alasan Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale tidak akomodatif.
Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan sikap anggota FPDIP yang memastikan tidak akan hadir dalam rapat tim perumus RUU APP dengan kata lain memboikot acara tersebut. Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale dianggap tidak akomodatif dan dinilai telah melecehkan hak politik dari fraksi dengan melanggar beberapa prosedur dalam penyusunan RUU APP tersebut. Satu di antara pelanggaran tersebut adalah tidak dibentuknya panitia kerja sebelum masuk tim perumus.
Penggunaan kategori  indeterminasi dalam kutipan teks berita tersebut terdapat pada kalimat Rapat tim perumus Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Puncak, Bogor pada Sabtu dan Minggu lusa dipastikan tidak akan dihadiri oleh anggota Fraksi PDIP dan pada kalimat Pasalnya, mereka menyatakan memboikot acara tersebut dengan alasan Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale tidak akomodatif. Penulis berita menyebutkan secara jelas apa yang terjadi dan siapa subjek atau pelaku sosial yang diberitakan. Dalam hal ini, anggota FPDIP dan Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale sebagai pelaku sosial yang menyebabkan aksi boikot itu terjadi dan alasan yang menyebabkan pemboikotan dilibatkan atau ditampilkan secara jelas tanpa ada yang ditutup-tutupi. Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan kepada khalayak pembaca bagaimana sikap tegas dari angggota FPDIP yang memboikot kegiatan rapat tim perumus RUU APP dan tidak menyetujui adanya RUU APP. Anggota FPDIP pada teks berita tersebut direpresentasikan sebagai fraksi yang memegang teguh prinsip dan aturan atau prosedur dalam penyusunan RUU APP. Dalam teks berita, FPDIP ditampilkan sebagai pihak yang dirugikan karena merasa hak politik mereka telah dilecehkan oleh pimpinan Pansus (Balkan Kaplale). Hal tersebut terlihat pada kalimat berikut ini.
Sikap keras ini diambil FPDIP karena pimpinan Pansus RUU APP dinilai telah melecehkan hak politik dari fraksi.
Kalimat tersebut muncul dalam teks berita berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh anggota Komisi VIII asal FPDIP Alfridel Jinu, "Kami walk out karena pimpinan pansus tidak memberi waktu kepada fraksi untuk membuat daftar isian masalah (DIM)," dan "Sangat terlihat adanya pemaksaan dari pimpinan pansus. Padahal DIM tidak bisa dibuat secara acak," katanya. Berdasarkan dua pernyataan tersebut, pimpinan Pansus dalam teks berita sebagai pelaku sosial digambarkan secara tidak baik karena dianggap tidak adil dan otoriter. Hal ini terlihat pada penggunaan kata melecehkan dan pemaksaan dalam teks berita tersebut.
Keenam, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori asimilasi-individualisasi.  Penggunaan kategori tersebut dilakukan dengan cara tidak menampilkan pelaku sosial secara jelas tetapi justru komunitas tempat pelaku tersebut berada yang secara spesifik ditampilkan (asimilasi) atau sebaliknya menampilkan pelaku dan komunitasnya secara jelas dan spesifik (individualisasi) dalam pemberitaan. Dalam teks berita RUU Pornogorafi, penggunaan kategori asimilasi tampak pada kutipan teks berita berikut ini.
DPRD Sulawesi Utara (Sulut) menyatakan menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi yang sementara dibahas di DPR RI, karena dinilai tidak merangkul aspirasi daerah.
Judul teks berita pada kutipan teks di atas adalah DPRD Sulawesi Utara Tolak RUU Pornografi yang diterbitkan oleh situs www.kompas.com edisi Senin, 13 Oktober 2008. Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan penolakan terhadap RUU Pornografi yang dilakukan oleh DPRD Sulawesi Utara dengan alasan RUU Pornografi yang saat ini dibahas oleh DPR RI dinilai tidak merangkul aspirasi daerah dan tidak memberikan dampak yang positif bagi masyarakat Indonesia yang plural.
Kutipan teks berita di atas menggunakan strategi wacana inklusi melalui penggunaan kategori asimilasi. Kategori asimilasi merupakan strategi wacana yang tidak menampilkan pelaku sosial dengan jelas secara spesifik, tetapi kelompok atau lembaga tempat pelaku sosial tersebut berada yang lebih diutamakan. Kategori asimilasi tampak pada proposisi pertama yakni pada kalimat DPRD Sulawesi Utara (Sulut) menyatakan menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Pornografi …. Dalam kalimat tersebut, tidak disebutkan siapa anggota DPRD Sulawesi Utara yang menyatakan penolakan terhadap RUU Pornografi tetapi yang diacu adalah komunitas atau asosiasi yang lebih besar yang bernama DPRD Sulawesi Utara. Melalui penggunaan kategori ini, menggambarkan seluruh anggota di DPRD Sulawesi Utara yang menyatakan penolakan tersebut.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan kepada khalayak pembaca tentang bagaimana sikap tegas dari DPRD Sulawesi Utara yang memutuskan menolak penetapan RUU pornografi yang pada saat itu sedang dalam pembahasan di DPR RI. Sikap tegas tersebut diwujudkan dalam bentuk surat penolakan yang ditanda tangani oleh 44 wakil rakyat Sulawesi Utara. Dalam teks berita juga menampilkan ketidakkompakkan dalam kelembagaan DPRD Sulawesi Utara, karena dari 45 anggota hanya 44 anggota DPRD yang menandatangani surat penolakan terhadap RUU APP.
Selanjutnya, penggunaan kategori individualisasi tampak pada kutipan teks berita yang berjudul Meutia: Tidak Ada Alasan Menolak UU Pornografi yang diterbitkan oleh situs www.kompas.com edisi Kamis, 30 Oktober 2008 berikut ini.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Hatta mengatakan, tidak ada alasan untuk menolak UU Pornografi yang baru saja disahkan oleh DPR, karena sudah banyak korban terutama dari kalangan perempuan dan anak-anak akibat pornografi tersebut.
Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan sikap tegas dan netral dari Meutia Hatta sebagai pelaku sosial dalam menyikapi pro dan kontra yang disebabkan oleh penetapan RUU Pornografi oleh pemerintah. Di satu pihak, Meutia Hatta mengharapkan agar semua kalangan dapat menerima RUU Pornografi demi kelangsungan masa depan bangsa Indonesia. Di pihak lain, Meutia Hatta meyakinkan kepada semua pihak bahwa RUU Pornografi tidak akan menimbulkan disintegrasi, tidak merugikan masyarakat, dan menghormati kebhinekaan. Dalam teks tersebut, pelaku sosial disebutkan atau ditampilkan dengan jelas secara spesifik. Kategori Meutia Hatta sebagai pelaku sosial ditampilkan secara jelas dalam teks tersebut dengan menjelaskan siapa dia dan apa peranan dan kedudukannya.
Secara ideologis, teks berita tersebut merepresentasikan bagaimana sikap Meutia Hatta sebagai pelaku sosial dalam menyikapi pro dan kontra RUU Pornografi. Dalam teks berita tersebut, penulis berita tidak melakukan pemarjinalan atau pengucilan terhadap pelaku sosialnya (Meutia Hatta). Namun, secara tidak langsung menampilkan sikap tidak baik dari pihak lain yang terlalu berlebihan menanggapi RUU Pornografi dengan melakukan berbagai aksi penolakan sebelum mengetahui dan memahami lebih jauh isi dari RUU tersebut. Dengan kata lain, menghakimi langsung tanpa melalui pertimbangan yang baik.
Ketujuh, penggunaan strategi wacana inklusi dalam kategori asosiasi-disosiasi. Penggunaan kategori ini dapat dilakukan dengan cara menghubungkan peristiwa, pelaku, atau kelompok sosial yang menjadi pemberitaan dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar tempat pelaku sosial itu berada (asosiasi) atau tidak menghubungkannya sama sekali dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar tempat aktor tersebut berada (disosiasi). Penggunaan kategori asosiasi tampak pada kutipan teks berita berikut ini.
 Sejauh ini RUU Pornografi tidak memberikan dampak positif bagi masyarakat Indonesia yang plural sehingga harus ditolak untuk diundangkan," kata Wakil Ketua DPRD Sulut, Arthur Kotambunan di Manado, Senin.
Judul dari penggalan paragraf teks berita di atas adalah DPRD Sulawesi Utara Tolak RUU Pornografi yang diterbitkan situs www.kompas.com edisi Senin, 13 Oktober 2008). Secara umum, teks berita tersebut merepresentasikan sikap DPRD Sulawesi Utara yang menolak RUU Pornografi yang pada saat itu masih dalam tahap pembahasan. DPRD Sulawesi Utara menganggap RUU Pornografi tersebut tidak memberikan dampak positif  bagi masyarakat Indonesia, sehingga tidak perlu diundangkan. Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara juga menyatakan bahwa provinsi mereka merupakan daerah yang sangat menghargai kebebasan dengan menjunjung tinggi norma agama dan budaya setempat sehingga tidak perlu diatur lagi dalam UU.
Pada kutipan paragraf teks berita tersebut, penulis berita menggunakan strategi wacana inklusi dalam kategori asosiasi. Strategi wacana asosiasi merupakan strategi yang menunjukkan apakah pelaku sosial dihubungkan dengan asosiasi atau kelompok yang lebih besar, tempat pelaku sosial tersebut berada. Dalam teks tersebut, DPRD Sulawesi Utara yang diwakili oleh Wakil Ketua DPR Arthur Kotambunan sebagai pelaku sosial memberikan pernyataan bahwa RUU Pornografi yang pada saat itu masih dalam tahap pembahasan tidak memberikan dampak positif bagi provinsi Sulawesi Utara. Untuk lebih menguatkan pernyataannya, Arthur Kotambunan menyatakan bahwa tidak hanya Provinsi mereka saja tetapi juga daerah-daerah lain yang juga merasa RUU tersebut sama sekali tidak memberikan dampak positif dengan beberapa alasan yang sama tentunya. Alasan penolakan yang dilakukan oleh DPRD Sulawesi Utara diasosiasikan dan dihubungkan dengan alasan yang diberikan oleh masyarakat Indonesia yang plural di berbagai daerah.
Selanjutnya, penggunaan kategori disosiasi tampak pada kutipan teks berita di berikut ini yang berjudul Tanpa Playboy, Sudah Banyak Beredar yang Begituan diterbitkan oleh www.detik.com edisi Jumat, 13 Januari 2006.
Playboy yang berpusat di AS mengizinkan pengusaha media Indonesia untuk menerbitkan edisi lokal dalam bentuk franchise. Majalah ini akan terbit bulan akhir Maret. Saat ini, Playboy Indonesia tengah mengadakan audisi untuk cover majalah tersebut atau disebut Playmate.
Secara umum, kutipan teks berita di atas merepresentasikan pro dan kontra rencana penerbitan majalah Playboy edisi Indonesia. Pro dan kontra tersebut muncul dari kalangan anggota DPR. Respons yang ditimbulkan oleh rencana tersebut bermacam-macam, ada yang menolak untuk berlangganan, ada yang merasa risih atau tidak nyaman, dan ada juga yang cuek atau tidak perduli dengan majalah baru tersebut. Pada kutipan teks berita, pelaku sosial (media Indonesia) yang berada di Indonesia dihubungkan dengan asosiasi atau kelompok lain yang lebih besar dalam pemberitaannya namun kelompok yang dihubungkan tersebut berada di luar lingkungan pelaku sosial berada yakni berada di Amerika Serikat. Selanjutnya, secara ideologis teks berita yang berjudul Tanpa Playboy, Sudah Banyak Beredar yang Begituan direpresentasikan bahwa pelanggaran pornografi Indonesia sudah ada sejak dulu. Namun, ketetapan hukum mengenai pelanggaran tersebut belum ada kejelasan. Dalam teks berita tersebut, secara tidak langsung memarinalkan pihak pemerintah yang dinilai lamban dan tidak tegas menanggapi pelanggaran pornografi di Indonesia. 
 
Berdasarkan beberapa uraian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan tiga hal sebagai berikut; (1) representasi ideologi teks berita RUU Pornografi dilakukan dengan strategi wacana eksklusi dan strategi wacana inklusi. Pertama, menyampaikan berita tanpa melibatkan pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaannya dengan maksud untuk melindungi pelaku sosial (eksklusi). Kedua, menyampaikan berita dengan melibatkan pelaku atau kelompok sosial dalam pemberitaan dengan maksud untuk memarjinalkan pelaku sosial (inklusi); dan (2) penggunaan bahasa pada strategi wacana eksklusi dalam RUU Pornografilebih dominan digunakan oleh penulis berita.
Daftar Rujukan
Brown, Gillian dan George Yule. 1996. Analisis Wacana. Diidonesiakan oleh I.Soetikno. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Djajasudarma, Fatimah. 2006. Wacana: Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Teks Media. Yogyakarta: LKiS.
Finoza, Lamuddin. 2002. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

Irene, Diana. 2007. Analisis Media Kippas. (http://kippas.wordpress.com/2007/07/03/perempuan-diantara-laki-laki-riset-berita-psk-di-aceh/). Diunduh 07/03/2010.

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Widyaningsih, Nina. Kalimat dalam Bahasa Indonesia. (lecturer.ukdw.ac.id/othie/pengertian kalimat). Diunduh tanggal 23/06/2010)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar