Selasa, 14 Desember 2010

TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR

Pendahuluan
Ketika berbicara dengan orang lain, kita menggunakan kalimat atau lebih tepatnya tuturan. Tuturan tersebut bisa dikelompokkan dalam berbagai cara, antara lain melalui panjang-pendek tuturan, struktur gramatikal, dan struktur semantik atau logika dari tuturan tersebut. Selain itu, pengelompokkan bisa dalam bentuk fungsi, yakni mengenai apa yang ditindak oleh tuturan tersebut.
Jika kita melihat percakapan secara umum, maka dapat terlihat bahwa percakapan melibatkan lebih dari sekedar penggunaan bahasa untuk menyatakan proposisi atau menjelaskan fakta-fakta. Melalui percakapan kita membangun hubungan dengan orang lain, mencapai suatu langkah kerjasama, menjaga hubungan tetap terbuka bagi hubungan yang lebih jauh. Dalam pembahasan ini kita akan mengkaji tentang tindak tutur dan penggunaannya dalam percakapan dan kehidupan sehari-hari.

II. Pembahasan
A. Tindak Tutur: Austin dan Searle
Peristiwa tutur merupakan suatu peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi tertentu dan tempat tertentu. Peristiwa tutur pada dasarnya merupakan rangkaian dari sejumlah tindak tutur yang terorganisir untuk mencapai suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur merupakan gejala sosial, maka tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J.L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard pada tahun 1956. Teori yang berasal dari materi kuliah itu kemudian dibukukan oleh J.O Urmson (1965) dengan judul How to Do Thing with Word? Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969), menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in the Philosophy of Language.
Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang teori tindak tutur, terlebih dahulu kita harus memahami tentang jenis kalimat. Menurut tata bahasa tradisional, ada tiga jenis kalimat, yaitu kalimat deklaratif, kalimat interogatif dan kalimat imperatif. Kalimat deklaratif adalah kalimat yang isinya hanya meminta pendengar untuk menaruh perhatian saja, sebab, maksud pengujar hanya memberitahukan saja. Kalimat interogatif adalah kalimat yang isinya meminta agar pendengar memberi jawaban secara lisan, sedangkan kalimat imperatif adalah kalimat yang isinya meminta agar si pendengar atau yang mendengar kalimat itu memberi tanggapan berupa tindakan atau perbuatan yang diminta.
Pembagian kalimat atas kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif adalah berdasarkan bentuk kalimat itu secara terlepas. Kalau kalimat-kalimat tersebut dipandang dari tataran yang lebih tinggi, misalnya dari tingkat wacana, maka kalimat tersebut dapat saja menjadi tidak sama antara bentuk formalnya dan bentuk isinya. Ada kemungkinan sebuah kalimat deklaratif atau kalimat interogatif tidak lagi berisi pernyataan dan pertanyaan, tetapi menjadi suatu bentuk perintah.
Austin membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan kalimat performatif. Kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka, seperti, "Ibu dosen kami cantik sekali", atau "Pagi tadi dia terlambat bangun". Sedangkan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya, apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya, misalnya, "Saya menamakan kapal ini "Liberty Bell", maka makna kalimat itu adalah apa yang diucapkannya.
Sebuah kalimat performatif harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
1. Prosedur konvensional harus ada untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Prosedur tersebut harus menentukan siapa yang harus mengatakan, dan melakukan apa, serta dalam situasi apa.
2. Semua peserta harus melaksanakan prosedur ini dengan patut dan melaksanakannya secara sempurna.
3. Pemikiran, perasaan dan tujuan tentang hal tersebut harus ada pada semua pihak.

Kalimat performatif ini lazim digunakan dalam upacara pernikahan, perceraian, kelahiran, kematian, kemiliteran dan sebagainya. Dalam pengucapannya, kalimat performatif biasanya ditunjang oleh tindakan atau perilaku yang nonlinguistik, seperti pemukulan gong, pengetukan palu dan sebagainya.
Kalimat performatif dapat dibagi atas situasi resmi dan yang tidak resmi. Yang pertama sudah dijelaskan sebelumnya. Yang kedua, adalah kalimat yang tidak terikat oleh ketiga syarat yang disebutkan di atas. Kita dapat memberikan contoh, "Saya berjanji...", Kami minta maaf atas...", Kami peringatkan Anda..., dan Saya bersedia hadir dalam...".
Kalimat performatif dapat juga digunakan untuk mengungkapkan sesuatu secara eksplisit dan implisit. Secara eksplisit artinya menghadirkan kata-kata yang mengacu pada pelaku seperti saya dan kami. Umpamanya, "Saya berjanji akan mengirimkan uang itu secepatnya", "Kami minta maaf atas keterlambatan pembayaran hutang itu", dan "Saya peringatkan, kalau Anda sering bolos, Anda tidak boleh ikut ujian".
Kalimat performatif yang implisit adalah kalimat yang tanpa menghadirkan kata-kata yang menyatakan pelaku, misalnya, "jalan ditutup" atau "ada perbaikan jalan" dan "ada ujian". Di balik kalimat-kalimat performatif yang implisit itu tentu ada pihak yang meminta kita melakukan apa yang dimintanya.

Austin membagi kalimat performatif menjadi lima kategori, yaitu:
1. Kalimat verdiktif, yakni kalimat perlakuan yang menyatakan keputusan atau penilaian, misalnya," Kami menyatakan terdakwa bersalah".
2. Kalimat eksersitif, yakni kalimat perlakuan yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya, misalnya, "Kami harap kalian setuju dengan keputusan ini".
3. Kalimat komisif, adalah kalimat perlakuan yang dicirikan dengan perjanjian; pembicara berjanji dengan anda untuk melakukan sesuatu, "Besok kita menonton sepak bola.
4. Kalimat behatitif, adalah kalimat perlakuan yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan, misalnya, "Saya mengucapkan selamat atas pelantikan Anda sebagai siswa teladan|".
5. Kalimat ekspositif adalah kalimat perlakuan yang memberi penjelasan, keterangan atau perincian kepada seseorang, misalnya, "Saya jelaskan kepada Anda bahwa dia tidak bersalah".
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin, dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu:
1. Tindak tutur lokusi - adalah tindak tutur yang menyatakan sesuatu dalam arti terbatas, atau tindak tutur dalam kalimat yang bermakna dan dapat dipahami, misalnya, "Ibu guru berkata kepada saya agar saya membantunya". Searle menyebut tindak tutur ini dengan istilah tindak bahasa proposisi.
2. Tindak tutur ilokusi - adalah tindak tutur yang biasanya diidentifikasikan dengan kalimat performatif yang eksplisit. Tindak tutur ini biasanya berkaitan dengan pemberian izin, ucapan terima kasih, menyuruh, menawarkan, dan menjanjikan, misalnya, "Ibu guru menyuruh saya agar segera berangkat".
3. Tindak tutur perlokusi - adalah tindak tutur yang berkaitan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilahku nonlinguistik dari orang lain, misalnya, karena adanya ucapan dokter, "Mungkin Ibu menderita penyakit jantung koroner", maka si pasien akan panik atau sedih. Ucapan si dokter adalah tindak tutur perlokusi.

Dalam suatu peristiwa tutur, peran pembicara dan pendengar dapat berganti-ganti. Dalam kaitan ini, Austin melihat tindak tutur dari pembicara, sedangkan Searle melihat tindak tutur dari pihak pendengar. Menurut Searle, tujuan pembicara sukar diteliti, sedangkan interpretasi pendengar mudah dilihat dari reaksi-reaksi yang diberikan terhadap pembicara.
Menurut Searle kita bisa memperlihatkan tiga jenis tindakan ketika kita berbicara, yaitu tindakan tuturan, tindakan proposisi, dan tindakan ilokusi. Tindakan tuturan sama dengan tindakan lokusi oleh Austin. Tindakan tuturan mengacu pada fakta bahwa kita harus menggunakan kata-kata dan kalimat jika kita ingin mengatakan apapun. Tindakan proposisi adalah hal-hal yang berkaitan dengan acuan atau ramalan, sedangkan tindakan lokusi berkaitan dengan tujuan pembicara yaitu pernyataan, pertanyaan, janji, atau perintah.
Kalau dilihat dari konteks situasi, ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur yang pertama mudah dipahami oleh si pendenagr karena ujarannya berupa kalimat dengan makna-makna lugas, sedangkan yang kedua hanya dapat dipahami oleh si pendengar yang sudah cukup terlatih dalam memahami kalimat yang bermakna konteks situasional.
Selain bentuk ujaran di atas, kita mengenal bentuk ujaran yang disebut dengan tipe fatis, seperti kata-kata "Udara hari ini cerah ya?" atau "Bagaimana kabarmu?", dan "Anda terlihat cemerlang hari ini!". Kita menggunakan ungkapan tersebut bukan ditujukan untuk isi ujaran, tetapi lebih pada nilai-nilai afektif sebagai suatu indikator bahwa seseorang ingin berkomunikasi dengan orang lain, untuk membuka percakapan, atau menjaga hubungan tetap terbuka dengan orang lain. Ungkapan fatis tidak bermaksud untuk benar-benar membicarakan sesuatu, tetapi lebih cenderung untuk membuka suatu aktifitas percakapan. Menurut Malinowski, ungkapan fatis atau phatic communion ini adalah salah satu tipe percakapan yang ikatan hubungannya diciptakan dengan bertukar kata-kata. Dalam keadaan tersebut, kata-kata tidak membawa arti, tetapi membawa fungsi sosial, dan hal tersebut adalah tujuan yang prinsipil.

B. Kerjasama dan Muka : Grice dan Goffman
Menurut Grice, kita mampu berbicara dengan orang lain karena kita mengetahui tujuan umum dalam percakapan tersebut dan tahu cara yang spesifik untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Agar tindak tutur dilakukan dengan efektif, orang perlu mematuhi prinsip kerja sama.
Prinsip kerja sama Grice berisi maksim-maksim (aturan-aturan) dalam bertindak tutur agar tindak tutur yang dilakukan efektif dan efisien. Maksim-Maksim dalam Prinsip Kerja Sama tersebut adalah:
1. Maksim Kualitas
• Jangan sampaikan pesan yang tidak benar.
• Jangan sampaikan pesan yang kamu tidak tidak mempunyai bukti kebenaran pesan itu. Dengan kata lain, dalam bertindak tutur sampaikanlah pesan yang benar atau pesan yang ada bukti kebenarannya.
2. Maksim Kuantitas
• Jangan sampaikan pesan yang kurang dari yang dibutuhkan oleh mitra tutur (petutur)
• Jangan sampaikan pesan yang melebihi yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Dengan kata lain, agar tindak tutur kita efektif, sampaikanlah pesan sebatas yang dibutuhkan oleh mitra tutur. Jangan kurang, tetapi jangan pula lebih. Jika pesan kurang dari yang dibutuhkan akan membingungkan atau sulit dipahami. Jika pesan lebih dari yang dibutuhkan, tindak tutur menjadi membosankan.
3. Maksim hubungan
• Jangan sampaikan pesan yang tidak saling berhubungan.
• Sampaikanlah pesan yang saling berhubungan.
4. Maksim cara
• Jangan sampaikan pesan secara ambiguitas.
• Sampaikanlah pesan secara jelas.
• Sampaikanlah pesan dengan singkat.

Menurut Geoffrey Leech, kesantunan berbahasa dapat dilakukan dengan cara pelaku tutur mematuhi prinsip sopan santun berbahasa yang berlaku di masyarakat pemakai bahasa itu. Prinsip kerja sama unggul untuk bertindak tutur yang mengutamakan ketepatan, keakuratan dan keefisienan penyampaian pesan, misalnya untuk penulisan karya ilmiah atau untuk presentasi ilmiah. Sebaliknya, prinsip kerja sama tidak efektif dalam tindak tutur yang mengutamakan terbentuknya hubungan sosial antara penutur dan petutur. Oleh karena itu, untuk kepentingan hubungan sosial, khususnya untuk membentuk sopan-santun berbahasa, prisip kerja sama Grice sering dilanggar.
Percakapan adalah suatu bentuk kerjasama dimana pembicara dan pendengar cenderung menerima tentang sesuatu hal yang sudah disepakati. Dengan kata lain, mereka menerima 'muka' yang ditawarkan pihak lain. 'Muka' tersebut bisa berbeda antara satu dengan yang lain berdasarkan situasi. Pada suatu waktu, muka yang ditawarkan pada kita adalah sebagai teman akrab, pada kesempatan lain, sebagai seorang guru, dan muka yang ketiga bisa saja sebagai wanita muda. Kita akan memakai kata-kata pada orang lain berdasarkan muka yang ditampilkan orang tersebut. Kita akan terlibat apa yang disebut Goffman dengan face-work (kerja-muka), yaitu kerja menampilkan muka pada satu sama lainnya, melindungi muka sendiri, dan melindungi muka orang lain. Kita akan memainkan semacam drama mini dan bekerjasama untuk melihat tidak ada yang salah dengan penampilan itu. Hal tersebut merupakan sebuah norma.

C. Beberapa Karakteristik Percakapan
Tuturan ada yang direncanakan dan ada yang tidak. Tuturan yang tidak direncanakan, diucapkan tanpa berpikir atau mendahului ekspresi. Tuturan ini mempunyai ciri-ciri: adanya pengulangan/repetisi, menggunakan kalimat aktif sederhana, pembicara dan pendengar bekerjasama untuk membuat proposisi, menghubungkan klausa dengan kata "dan", serta "tetapi", penghilangan subjek dan referen, menggunakan deiktis seperti "ini", "itu" "di sana", "di sini". Dengan demikian, pembicaraan yang tak terencana adalah tuturan yang tidak terorganisir.
Dapat dikatakan bahwa percakapan terkonsep secara lokal. Hal ini berarti, percakapan cenderung dilakukan tanpa rencana yang sadar dan bergantung pada para partisipan untuk mengaturnya dengan menggunakan sejumlah sarana dan prinsip yang sudah diketahui untuk digunakan dalam percakapan.
Salah satu sarana organisasi percakapan yang digunak adalah Adjacency pair (pasangan yang sesuai). Tipe tuturan dengan berbagai jenis ditemukan secara berulang: seperti salam dijawab dengan salam; ceramah mendapat tanggapan; pertanyaan mendapat jawaban; permintaan dan penawaran mendapat jawaban atau penolakan dan sebagainya.
Percakapan adalah kegiatan kerjasama yang melibatkan dua atau lebih pihak, yang masing-masingnya dibolehkan menggunakan kesempatan untuk berpartisipasi. Karena itu, harus ada prinsip yang mengatur siapa yang harus berbicara. Hal ini disebut juga turn-taking atau giliran berbicara. Penelitian menunjukkan bahwa kurang dari lima persen tuturan yang saling berhimpitan, dan kekosongan antara tuturan kadang-kadang hanya terhitung beberapa mikrosekon dan kadang-kadang hanya sepersepuluh detik. Pergiliran bicara ini dilakukan dalam berbagai keadaan, di antaranya terjadi antara beberapa partisipan dalam percakapan biasa dan dalam telepon. Karena itu, ada semacam rambu-rambu yang harus disadari supaya kita bisa melakukan pergiliran bicara dengan baik. Sangat jarang ditentukan waktu giliran berbicara dalam berbagai peristiwa, misalnya debat resmi yang waktunya telah ditetapkan sebelumnya. Percakapan umum tidak menggunakan praalokasi waktu. Partisipan biasanya menggunakan giliran berbicara secara alamiah.

III. Penutup
Pembicaraan tentang tindak tutur dan peristiwa tutur tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai makhluk sosial yang butuh berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, perlu prinsip-prinsip yang harus disepakati agar terjalinnya komunikasi yang efektif dan efisien. Lewat teori-teorinya yang berkaitan dengan tindak tutur dan peristiwa tutur, Austin, Searle, Greece, dan Goffman, berusaha memberikan prinsip-prinsip komunikasi yang berkaitan dengan kesopanan atau rambu-rambu yang harus diperhatikan dalam berkomunikasi dalam masyarakat. Dengan memahami dan mengaplikasikan teori-teori tersebut, diharapkan kita lebih mampu berkomunikasi dengan baik di segala situasi dan kondisi agar tercapai tujuan yang kita inginkan.

Sumber Rujukan
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan awal. Jakarta: Rhineka Cipta

Wardhaugh, Ronald.1986. An Introduction to Sosiolinguistics. New York: Basil Blackwell
(berdasarkan hasil diskusi kelompok mata kuliah Sosiolinguistik)

1 komentar:

  1. kk makacihh... ikut ngocy y, hehehe... wat tmbahan referensi.. smoga pngetahuan qt bertambah aamiin....

    BalasHapus