Selasa, 14 Desember 2010

ANTROPOLOGI DAN PENDIDIKAN

A. Pendahuluan
Antropologi pendidikan adalah cabang spesialisasi yang termuda di dalam antropologi. Antropologi sebagai kajian manusia dan cara-cara hidup mereka, yang muncul pada saat lahirnya gagasan oleh semangat etnografi, arkeologi, geologi dan terutama di dorong oleh semangat Darwinisme. Dengan didorong oleh konsep evolusi organisme, mulailah berkembang antropologi dengan pandangan bahwa pada dasarnya semua kebudayaan manusia berkembang melalui tahap-tahap yang menjurus ke arah kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Eropa dan Amerika.
Menurut ahli Antropolog Amerika, L.H.Morgan, ada tiga tahap perkembangan kebudayaan manusia, yaitu savagery, barbarisme dan civilization yang melukiskan proses evolusi manusia dan masyarakat dari semua manusia dan masyarakat di dunia. Sedangkan di daerah Eropa, ada aliran Diffusionisme (kulturkreis) yang mengemukakan bahwa berbagai kebudayaan umat manusia bukan muncul sebagai hasil pertumbuhan paralel yang independent, tapi merupakan difusi dan invensi dari beberapa pusat kebudayaan. Emile Durkheim, Bronislaw Malinowski (Eropa) dan Franz Boas (Amerika) memprakarsai lahirnya antropologi empiris dengan mengembangkan beberapa aliran tertentu. Franz Boas yang mempengaruhi beberapa antropolog Amerika dengan konsep kebudayaan sebagai satu totalitas (totalitas es wholes) yang memperhatikan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan berbeda, sedangkan pengikutnya mengarahkan perhatian pada pola-pola dasar atau konfigurasi-konfigurasi dari bagian yang membuat bagian masing-masing kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan. Sejak saat itu kajian mengenai kebudayaan dan kepribadian menjadi inovasi utama, yaitu tentang proses bagaimana sebuah kebudayaan diinternalisasikan dan dirubah oleh individu yang memungkinkan kebudayaan muncul dan berfungsi. Namun, pada pembahasan ini lebih menitikberatkan perhatian hubungan pendidikan dengan antropologi budaya.

B. Ringkasan Materi
a. Antropologi dan Pendidikan
Antropologi adalah kajian tentang manusia dan cara-cara hidup mereka. Antropologi memiliki dua cabang atau kajian utama. Pertama, antropologi yang mengkaji evolusi fisik manusia dan adaptasinya terhadap lingkungan yang berbeda-beda. Kedua, antropologi budaya yang mengkaji baik kebudayaan-kebudayaan yang masih ada maupun kebudayaan yang sudah punah.
Secara umum antropologi budaya mencakup antropologi bahasa yang mengkaji bentuk-bentuk bahasa; arkeologi yang mengkaji kebudayaan-kebudayaan yang telah punah; kemudian etnologi yang mengkaji kebudayaan yang masih ada dan dapat diamati secara langsung. Meskipun antropologi merupakan cabang ilmu yang termuda di antara ilmu-ilmu sosial, antropologi telah melampaui ilmu-ilmu sosial lainnya dalam retangan subjek matter dan metodologi. Antropolog menghubungkan semua aspek terhadap kebudayaan sebagai satu keseluruhan yang mengkaji semua kebudayaan baik lampau maupun sekarang, sederhana ataupun maju. Antropolog menyadarkan kita akan keragaman kebudayaan umat manusia dan pengaruh yang dalam dari pendidikan (cultural conditional) terhadap perilaku dan kepribadian manusia.
Dalam arti luas, pendidikan mencakup setiap proses, kecuali yang bersifat genetis, yang mendorong membentuk pikiran, karakter, atau kapasitas fisik seseorang. Proses tersebut berlangsung seumur hidup, karena kita harus mempelajari cara berpikir dan cara bertindak yang baru di dalam setiap perubahan besar di dalam hidup kita. Selanjutnya dalam arti sempit, pendidikan adalah penanaman pengetahuan, keterampilan, dan sikap pada masing-masing generasi dengan menggunakan pranata-pranata, seperti sekolah-sekolah yang sengaja diciptakan untuk tujuan tersebut. Istilah pendidikan juga berarti disiplin ilmu (termasuk psikologi, sosiologi, sejarah, dan filosofi pendidikan).
Maka, dapat disimpulkan pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses pembelajaran, pemberian pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui pikiran, karakter serta kapasitas fisik dengan menggunakan pranata-pranata agar tujuan yang ingin dicapai dapat dipenuhi. Pendidikan dapat diperoleh melalui lembaga formal dan informal. Penyampaian kebudayaan melalui lembaga informal tersebut dilakukan melalui enkulturasi semenjak kecil di dalam lingkungan keluarganya. Dalam masyarakat yang sangat kompleks, terspesialisasi dan berubah cepat, pendidikan memiliki fungsi yang sangat besar dalam memahami kebudayaan sebagai satu keseluruhan.
Dengan makin cepatnya perubahan kebudayaan, maka makin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, di mana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan. Pendidikan bersifat konservatif yang bertujuan mengekalkan hasil-hasil prestasi kebudayaan, yang dilakukan oleh pemuda-pemudi sehinga dapat menyesuaikan diri pada kejadian-kejadian yang dapat diantisipasikan di dalam dan di luar kebudayaan serta merintis jalan untuk melakukan perubahan terhadap kebudayaan.
G.D. Spindler berpendirian bahwa kontribusi utama yang bisa diberikan antropologi terhadap pendidikan adalah menghimpun sejumlah pengetahuan empiris yang sudah diverifikasikan dengan menganalisa aspek-aspek proses pendidikan yang berbeda-beda di dalam lingkungan sosial budayanya. Teori khusus dan percobaan yang terpisah tidak akan menghasilkan disiplin antropologi pendidikan. Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktik pendidikan di dalam prespektif budaya, tapi juga mengenai asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktik-praktik pendidikan
Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Di mana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang di dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktik pendidikan di dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.
b. Makna Kebudayaan
Makna kebudayaan, secara sederhana berarti semua cara hidup (ways of life) yang telah dikembangkan oleh anggota masyarakat. Dari prespektif lain kita bisa memandang suatu kebudayaan sebagai perilaku yang dipelajari dan dialami bersama (pikiran, tindakan, perasaan) dari suatu masyarakat tertentu termasuk artefak-artefaknya, dipelajari dalam arti bahwa perilaku tersebut disampaikan (transmitted) secara sosial, bukan diwariskan secara genetis dan dialami bersama dalam arti dipraktikkan baik oleh seluruh anggota masyarakat atau beberapa kelompok di dalam suatu masyarakat.
Masyarakat merupakan suatu penduduk lokal yang bekerja sama dalam jangka waktu yang lama untuk mencapai tujuan tertentu, sedangkan kebudayaan merupakan cara hidup dari masyarakat tersebut atau hal-hal yang mereka pikirkan, rasakan dan kerjakan. Masyarakat mungkin saja memiliki satu kebudayaan jika masyarakat tersebut kecil, terpisah dan stabil.
c. Isi Kebudayaan
Pada dasarnya gejala kebudayaan dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan/aktivitas, gagasan/ide dan artefak yang diperoleh, dipelajari dan dialami. Kebudayaan dapat diklasifikasikan atas terknologi sebagai alat-alat yang digunakan, organisasi sosial sebagai kegiatan institusi kebudayaan dan ideologi yang menjadi pengetahuan atas kebudayaan tersebut. Menurut R. Linton, kebudayaan dapat diklasifikasikan atas:(1). Universals: pemikiran-pemikiran, perbuatan, perasaan dan artefak yang dikenal bagi semua orang dewasa di dalam suatu masyarakat, (2). Specialisties: gejala yang dihayati hanya oleh anggota kelompok sosial tertentu, dan (3) Alternatives: gejala yang dihayati oleh sejumlah individu tertentu seperti golongan profesi.
Kebudayaan merupakan gabungan dari keseluruhan kesatuan yang ada dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan mengingat masyarakat pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurasi yang cocok dengan sikap-sikap dan kepercayaan dasar dari masyarakat, sehingga pada akhirnya membentuk sistem yang interdependen, di mana koherensinya lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan pembentuknya. Kebudayaan dapat bersifat sistematis sehingga dapat menjadi selektif, menciptakan dan menyesuaikan menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancar dan berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.
Dalam kebudayaan terdapat subsistem yang paling penting yaitu foci yang menjadi kumpulan pola perilaku yang menyerap banyak waktu dan tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka fokus tersebut akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan fokus tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan akan rusak dan bahkan bisa hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu dipaksakan, sehingga tidak sesuai dengan keadaan masyarakat tempat kebudayaan tersebut berkembang. Perubahan tersebut didorong oleh adanya tingkat integrasi yang tinggi di dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi maka kebudayaan tersebut akan mudah menyerap serangkaian inovasi sehingga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri.
d. Beberapa Sifat Kebudayaan
Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat memiliki sifat seperti: (1) Bersifat organik dan superorganik karena berakar pada organ manusia dan juga karena kebudayaan terus hidup melampaui generasi tertentu, (2) Bersifat terlihat (overt) dan tersembunyi (covert) terlihat dalam tindakan dan benda, serta bersifat tersembunyi dalam aspek yang mesti diintegrasikan oleh tiap anggotanya, (3) Bersifat eksplisit dan implisit berupa tindakan yang tergambar langsung oleh orang yang melaksanakannya dan hal-hal yang dianggap telah diketahui dan hal-hal tersebut tidak dapat diterangkan, (4) Bersifat ideal dan manifest berupa tindakan yang harus dilakukannya serta tindakan-tindakan yang actual, dan (5) Bersifat stabil dan berubah yang diukur melalui elemen-elemen yang relatif stabil dan stabilitas terhadap elemen budaya.

C. Kesimpulan
Semakin cepatnya perubahan kebudayaan, maka semakin banyak diperlukan waktu untuk memahami kebudayaannya itu sendiri. Hal ini membuat kebudayaan di masa depan tidak dapat diramalkan secara pasti, sehingga dalam mempelajari kebudayaan baru diperlukan metode baru untuk mempelajarinya. Dalam hal ini pendidik dan antropolog harus saling bekerja sama, di mana keduanya sama-sama memiliki peran yang penting dan saling berhubungan.
Pada dasarnya, antropologi pendidikan mestilah merupakan sebuah kajian sistematik, tidak hanya mengenai praktik pendidikan di dalam prespektif budaya, tapi juga mengenai asumsi yang dipakai antropolog terhadap pendidikan dan asumsi yang dicerminkan oleh praktik-praktik pendidikan. Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan


Daftar Pustaka
Manan, Imran. 1989. Antropologi Pendidikan Suatu Pengantar. Jakarta: Debdikbud.

2 komentar:

  1. Substansinya oke, cuma perlu ditata tulisan di blognya. Supaya memudahkan navigasi peselancar dunia maya mengakses tulisan kita.

    Salam,
    http://www.sastrafresh.co.cc
    http://www.mtkstkip.co.cc

    BalasHapus
  2. Entah apa yg di bahas disini lari dr materi

    BalasHapus